Warna Makkah dan Madinah

Kalau boleh jujur, sesungguhnya sejak siang tadi saya sudah memiliki sebuah topik untuk ditulis.


Namun entah mengapa, pikiran saya malam ini justru mengarah kepada hal lain. Sebuah tempat ribuan kilometer jauhnya dari rumah, tempat sebagian hati saya tertanam untuk selamanya.


Madinah... dan Makkah. 


Dari kedua kota tersebut, saya jadi tahu bagaimana rasanya hidup untuk beribadah. Tanpa perlu berkonflik dengan lika-liku kehidupan keduniaan, tanpa perlu khawatir mengenai terpenuhinya kebutuhan dasar seperti makanan, misalnya. 


Seluruh kota merupakan tanah yang suci, katanya. Namun saya merasakan magnet kuat untuk bersujud kepada-Nya di rumah-Nya langsung... setiap adzan berkumandang. Tidak pernah ada rasa malu untuk berkunjung ke rumah-Nya kapan saja, berapa lama pun. 


Berkeluh kesah, mendekatkan hati, berserah diri. 


Saya menikmati setiap detiknya. Saya menikmati suasananya.




Ada satu kebiasaan yang terbentuk selama saya di sana: kembali berdiri setelah salam Shalat Fardhu, lima kali dalam satu hari. Shalat Ghaib dan Shalat Jenazah. 


Saya sungguh penasaran dengan wajah orang-orang luar biasa yang berkesempatan dipanggil di rumah-Nya, orang-orang yang setelah shalat fardhu kami shalatkan. 


Pernah suatu waktu suami saya (pada saat itu baru satu minggu kami menikah) mengabarkan bahwa ia melewati area pengumpulan jenazah ketika mencari area shalat subuh. Saya bersemangat mendengarnya dan langsung ditemani untuk melihat. Namun sayangnya, ketika kami mengelilingi lantai tersebut di hari terakhir di kota Makkah setelah melaksanakan Tawaf Wada, kami tak berkesempatan menemukannya. 


Mungkin jenazah sudah dipindahkan untuk dikebumikan. Mungkin memang saya tidak ditakdirkan untuk melihat para Syuhada secara langsung. 


Entahlah. 


Namun dalam hati, saya merasa senang dan bersyukur dengan semua warna yang Makkah dan Madinah berikan untuk saya. Tidak sabar rasanya kembali ke sana. Semoga secepatnya. Aamiin.




Yazida.

22:11 WIB

#Day8 #30DWCJilid46

Komentar