Bertumbuh di Dalam Kotak Pasir

"Pak, inget enggak, dulu saya pernah minta izin dan dibantu untuk bisa lari dengan pace saya?"


Langit di sore itu sedikit gelap. Meskipun terletak di tengah hempitan gedung-gedung, hembusan angin hadirnya tetap dapat terasa dari bangku panjang taman. Lelaki berkaus polo itu mengangguk dengan antusias, "Yes, sure. Of course."


"Hari ini, saya mau minta izin dan dibantu lagi untuk bisa lari sesuai pace saya," tuturku. "Tapi mungkin bukan di sini lagi."




Good Morning, Yazida.

Bismillah, hope you’re having a wonderful day at work every time you read this.

Just remember to breathe, ok?

You're amazing :)


Aku menuliskan kalimat tersebut di bagian atas catatan untuk menyusun kerangka pikirku. Setelah menarik napas panjang dua kali, kumulai pagi di hari pertama itu dengan mengecek e-mail dan calendar. Tanpa sadar, aku tersenyum. 


Entah apa yang akan ditugaskan untukku. Namun aku siap berkontribusi sepenuh hati dan memberikan inovasi-inovasi yang diperlukan demi kemajuan perusahaan rintisan ini.


Sandbox. Kotak pasir.


Sebuah tempat yang diilustrasikan dengan sempurna seperti dalam drama Korea dengan bertajuk bisnis yang populer pada tahun 2020. Tempat kita dapat 'bermain ayunan' dengan aman tanpa takut terjatuh. Kalaupun memang jatuh, tak perlu khawatir karena ada pasir-pasir halus di bawah yang siap meminimalisir efek buruk yang mungkin terjadi.


Sebagai anak bau bawang yang baru mentas dari bangku perkuliahan, aku tak pernah tahu bahwa melakukan apa yang kita suka dalam balutan kata 'bekerja' dapat membuatku merasa sehidup ini. Sungguh, sangat senang mengetahui bahwa apa yang kita lakukan dalam keseharian memiliki satu misi dan dampak nyata tak hanya untuk perusahaan, namun juga untuk orang-orang di luar sana. 


"Kamu nggak harus udah bisa semuanya," teringat sedikit kalimat dari lelaki berkaus polo yang berbincang dari sisi lain layar ponselku saat sedang berada di wawancara tahap akhir. "Perlu belajar teknis? Non teknis? Atau mau belajar hal lain? Di sini ada banyak Team Leaders dan konsultan untuk mentoring kamu sampai jago. Ada saya juga."


Aku sungguh beruntung dapat bertemu dan berkolaborasi dengan otak-otak cemerlang yang kuyakin telah diseleksi dengan begitu cermat di sini. Sungguh banyak sosok yang kupegang dan kujadikan panutan dalam berbagai aspek. Tak hanya profesional, namun juga personal.


Iya, semenyenangkan itu.  




Entah berapa purnama berlalu. Yang jelas, Jumat itu kelabu.


Aku duduk di salah satu ruangan meeting yang diisi oleh nyaris dua kali lipat kapasitas awalnya. Lebih dari separuh manusia di dalamnya memilih berdiri saja. Dan meskipun suhu ruangan agak sedikit panas efek berebut oksigen, kami semua datang dengan satu tujuan yang sama: melepas dan berpamitan.


"Kamu masih muda dan punya banyak potensi yang sayang kalau disia-siakan," wanita  berkulit coklat itu merespon setelah tiba giliranku menyampaikan kata-kata perpisahan untuk mengantarnya pergi ke tempat baru. 


Seorang Leader dan panutan. Juga kakak dan kawan.


Entah sudah keberapa kalinya aku duduk dalam situasi serupa. Melepas pergi sosok-sosok pegangan dan panutan yang melekat di hati. Sampai tak ada ruang untuk berduka. Mati rasa saja. 


Sambil membuat pola-pola di tangan, ia melanjutkan, "Kenali tujuan kamu, lalu identifikasi: apakah yang kamu lakukan sekarang bisa membawamu lebih dekat dengan tujuan itu."


Aku mengangguk. Masuk akal. Setelah kupikir-pikir, sudah beberapa waktu terakhir aku memang tumbuh dengan akar terombang-ambing yang entah berpegang pada tujuan apa. 


"Kalau iya, gali dan pelajari lebih dalam," lanjutnya serius. "Kalau enggak, kamu tau harus apa."


Dan meskipun ruangan meeting itu penuh dengan banyak sekali orang, namun seketika sunyi senyap. Seluruhnya larut dalam nasehat yang sepertinya lebih tepat diberikan secara personal untukku.


"Lakukan, sebelum terlambat."




Good Morning, Yazida.

Bismillah, hope you’re having a wonderful day at work every time you read this.

Just remember to breathe, ok?

You're amazing :)


Aku membaca ulang kalimat di lembar catatanku itu. 


Sungguh berbeda dari dua setengah tahun lalu ketika pertama kali menuliskannya dan melangkahkan kaki ke kotak pasir ini. Meskipun tak lagi putih, pasirnya masih halus. Memang sedikit bergoyang, namun ayunannya masih ada. Sulit ditampik, kini pegangannya tak lagi kokoh. Panutannya samar.


Rupanya, aku telah tumbuh dengan tujuan dan misi yang tak lagi sejalan. 


"Kalau dulu, banyak sosok yang aku lihat dan pegang," anak muda di hadapanku berkata serius. Ia mencoba duduk tenang meskipun kaki yang memangku bantal sofa itu sedikit bergetar. "Sekarang pegangan aku ya Mba Yaz."


Dari balik matanya, terpancar tekad untuk maju yang juga diliputi rasa takut, "Kalau Mba Yaz kenapa-kenapa, aku mungkin juga kenapa-kenapa."


Padahal kita sama. Padahal aku juga kehilangan. Padahal aku juga tak kokoh dan mulai samar-samar tak tampak. 


Aku menghela napas panjang. Dalam hati, kuucapkan permohonan maaf atas situasi tak baik saja yang sedang terjadi dan akan terjadi ke depannya. Aku tersenyum, berusaha menghempas khawatir si anak muda, "Yang penting nggak mati kan?"




Yazida.

22:35 WIB

#Day29 #30DWCJilid46

Komentar