The Conversation: Embracing Uniqueness

"Bebi, aku boleh minta tissue basahnya?" Tanyaku sambil menunjukkan kedua tanganku yang berminyak. Sebuah kotak makanan yang isinya telah berpindah ke dalam perutku masih duduk manis di pangkuan.


Lelaki itu meletakkan ponsel yang sedang dimainkannya, kemudian meraih sebungkus barang yang kumaksud. Ia membuka kemasan, kemudian mengulurkan selembar kepadaku. Buru-buru kuambil dan mulai membersihkan telapak tangan sampai sela-sela jari.

Ia melepas topi coklatnya. Dan meskipun riuh samar suara gerbong berdecit dan penumpang lain di depan-belakang kami, ia membuka percakapan siang itu. "Bebi, kalau mau ngikutin standar dan kebiasaan orang lain, yang bawa barang-barang kayak gini itu-"


"Pihak perempuannya kan?" Aku memotong.


"Yes," ia kembali menyandarkan punggungnya ke kursi premium berwarna biru gelap. Tatapannya tetap lembut, suaranya sedikit dikeraskan untuk memastikan aku tetap dapat mendengarnya. Lelaki itu melanjutkan, "Tapi kita udah jauh dari standar itu. Kita beda. Terasa, kan?"




Masih di hari yang sama, segera setelah sampai ke tujuan dan ia hendak membersihkan tubuh.


"Bebi," aku memulai percakapan, membuatnya kembali meletakkan handuk yang sebelumnya sudah tersampir di bahu. Lelaki itu duduk di lantai, memandangiku yang sudah bersih dan bisa rebahan santai di atas kasur. "Udah cek grup keluarga besar?"


Ia menggeleng singkat. Diambilnya sebuah ponsel hitam dan mulai memencet beberapa bagian layarnya. Tiga puluh detik ia berusaha memahami isinya, dahinya sedikit berkerut. Segera setelah kembali meletakkan ponsel hitam, lelaki itu mengarahkan pandangannya kembali ke arahku. Sebelah alisnya terangkat, berusaha menerka arah perbincangan kami selanjutnya.


"Kenapa ya, aku selalu merasa defensif ketika ada hal semacam itu?" Tanyaku serius. Jantungku mulai berdebar lebih kencang, hasil dari memikirkannya saja. "Bahkan ketika orang lain berhasil dan menerima pujian. Kenapa aku merasa di balik itu ada aku yang sedang dihina?"


"Bebi, mau coba dihindari bagaimanapun, inilah siklusnya," lelaki itu menanggapi. Kedua tangannya mulai bergerak mengikuti setiap poin yang ia bicarakan. "Waktu kuliah, ditanya kapan lulus. Sudah lulus, ditanya kapan nikah. Sudah nikah, ditanya kapan punya anak. Sudah punya anak, ditanya kapan tambah anak. Sudah tua, ditanya kapan punya cucu."


Aku tersenyum getir bersamanya. Setuju tapi juga pahit.


"Ada orang yang tanya karena berniat baik ingin membantu," ia melanjutkan. "Meskipun kebanyakan ya, cuma kepo aja."


Aku menangguk-ngangguk kecil. Mengingat betapa banyak basa-basi yang sungguh basi ini dilontarkan oleh pihak-pihak yang sepertinya tak menyadari dampak destruktifnya.


"Sekarang tugas kita adalah mengidentifikasi dan memilih mana yang ucapannya dapat dipercaya dan memiliki nilai kontribusi yang membantu, mana yang hanya ingin tau semata. Artinya, karena tidak penting, ya bisa kita abaikan detik itu juga."


Ia bangkit dari lantai, kembali meletakkan handuk di bahunya, sembari menutup obrolan hangat malam ini, "Kita beda, Bebi. Kita punya cara sendiri, kita punya waktu sendiri." 


"Nggak perlu diambil hati. Nggak perlu defensif. Abaikan aja."




Yazida.

23:19 WIB

#Day7 #30DWCJilid46

Komentar