Leaves on a Stream

Bukan hanya karena sesi kali ini bertemakan sungai, namun bulir-bulir air mata sungguh hebat menemukan celah untuk membuat aliran sampai ke dagu. Meski kedua mata saya tertutup dan pikiran saya sedang dibawa ke tempat lain. 


Sebuah bukit hijau dengan pohon rindang. Saya duduk di bawahnya, menatap aliran sungai jernih di sebelah kiri saya. Beberapa helai daun jatuh dengan lembut. Beberapa tertiup angin, beberapa hanyut dalam aliran sungai. 


Beberapa helai di antaranya lebih berat, sudah saya isi dengan batu-batu pikiran yang selama ini saya pikul. Saya hantarkan langsung pinggir sungai dan saya amati satu-satu pergerakannya. Terkadang pelan, lebih cepat, terkadang sedikit tersangkut dan bertubrukan sebelum kembali mengalir.

Satu hal yang pasti: daun-daun itu pergi dan menjauh.




Sembari membuka mata, saya menarik dan menghembuskan napas dalam-dalam.


Inhale... exhale. 

Inhale... exhale. 

Inhale... exhale.


Tatapan mata hangat di balik kacamata menyambut saya. Wanita itu bertanya, "Apa yang tadi kamu lihat dan rasakan?"


Pikiran saya kembali melayang, saya mengambil sedikit jarak untuk menjawab. 


"Ketika diminta untuk menghadirkan diri saya dalam titik terendah, yang datang bukan lagi sosok anak sembilan tahun yang tak menyadari bahwa sesungguhnya dirinya sangat terluka. Lukanya sudah saya tiup dan bersihkan. Dia sudah saya peluk dan timang-timang."


"Lalu siapa yang datang?"


"Dia, yang empat tahun lalu meniup dan membersihkan luka anak kecil itu. Saya lupa kalau dia juga sedang dalam titik terendahnya. Saya lupa kalau dia juga terluka. Saya lupa kalau dia juga perlu dipeluk dan ditimang-timang. Saya belum berterima kasih kepadanya karena telah memilih bertahan hingga saya bisa duduk di kursi ini hari ini." 




Yazida.

22:16 WIB

#Day3 #30DWCJilid46 

Komentar