Bertarung dengan Jeda dan Waktu

Tinggal sebentar lagi. Saya tidak boleh menyerah begitu saja. 


Jujur, waktu yang sempit membuat saya lebih susah untuk berusaha dengan lebih waras dan terarah. 


Tangan saya mulai berkeringat dingin, pandangan saya tidak fokus, napas saya sulit teratur. Telinga saya mendadak hipersensitif atau bahkan hilang peka dengan suara-suara. 


Entah sejak kapan pertarungan dengan detik-detik terakhir menjadi medan paling berat. Ini bukan tentang menang melawan orang lain, namun lebih kepada pertarungan dengan diri dan pemikiran-pemikiran buruk yang mendadak muncul untuk menggoyahkan iman. 


Pada titik ini saya benar-benar merasa bahwa menyerah merupakan solusi cepat untuk menghilangkan segala kegelisahan dan sensasi buruk yang intens terasa. Terkadang pikiran bisa begitu sesat menutupi segala macam persiapan dan usaha yang telah kita lakukan untuk bisa sampai pada titik tersebut. Seolah-olah tidak ada takdir lain selain gagal. 


Padahal selama ada hitam selalu akan ada putih. Mengapa pertanyaannya selalu: bagaimana jika gagal? Mengapa tidak bertanya kebalikannya: bagaimana jika berhasil?


Tangan saya mulai gemetar dan mata saya sedikit berat. Pasalnya, ada beberapa titik yang sedari tadi berdenyut di kepala, leher, dan bahu. Lalu entah bagaimana, perut saya ikut bereaksi. Mulas dan perih. Seperti laboratorium kimia yang sedang uji coba beragam zat: merebus, mencampur, dan mengaduknya. 


Sulit bagi saya untuk melihat mana yang penting dan tidak penting.  


Semua sensasi tubuh bercampur. Semua masalah saling beradu untuk diselesaikan bersamaan. Semua sudut pandang dan variabel mendadak muncul untuk memperberat kinerja otak, terkadang juga hadir untuk menanamkan benih rasa bersalah. 


Entah langkah apa yang harus saya lakukan terlebih dahulu.




"Bebi, apa yang bisa aku bantu untuk ringanin pikiran kamu?" Tanya suami saya dalam perjalanan pulang selepas mendengar diagnosis dokter di klinik: asam lambung. "Karena kayaknya kondisi fisik drop ini bukan cuma di-trigger kecapekan dan makanan yang berantakan, tapi juga faktor psikis."


Saya duduk lemas di kursi penumpang, mobil melaju sedikit lambat karena adanya penumpukan arus di jalan protokol. Terdapat beberapa bungkus obat dan amplop berisi surat rekomendasi istirahat dari dokter di pangkuan saya. Saya menggaruk lengan yang sedikit merah, "Jujur, aku juga bingung, Bebi. Padahal akhir-akhir ini aku rasa regulasiku udah jauh lebih baik."


Kami berdiskusi tentang beragam langkah yang telah saya ambil. 


Kembali membangun kebiasaan menulis, salah satunya. Hal ini cukup efektif menyalurkan buah pikiran dan perasaan agar tidak menyumbat aliran energi lainnya. Meskipun tentu, apa yang saya tulis sudah mengalami proses penyaringan dan pengelolaan awal. 


Saya juga beberapa kali sudah menjalankan metode meditasi yang diajarkan oleh terapis saya. Entah apakah ada kesalahan pada cara saya menjalankannya, atau memang ternyata ada metode efektif lain yang mungkin belum diperkenalkan kepada saya. 


Setelah dipikir-pikir, pola yang mirip pernah terjadi sekitar lima tahun yang lalu. Pikiran yang kurang sehat, imunitas menurun, gangguan pencernaan, hingga mendadak muncul masalah pada kulit yang berkaitan dengan gatal dan kemerahan. 


Pun semuanya berawal dari forsir pikiran dan kegiatan fisik yang berlangsung bertubi-tubi tanpa jeda dalam durasi yang lama. Dalam kasus ini, mengambil jeda pikiran dan fisik yang berkualitas sembari melakukan penanganan lanjutan menjadi opsi yang paling masuk akal untuk segera diambil. 


Entah apa rahasia semesta yang masih disimpan rapat-rapat untuk saya saat ini. Semoga lekas sembuh dan membaik ya. 




Yazida. 

06:53 WIB

#Day27 #30DWCJilid46

Komentar