Teman Tidur (Part II)

 Sejak kecil saya telah dipaparkan dengan berbagai hal seputar tidur. Awalnya, saya ditunjukkan apa itu wujud konsistensi dengan menggunakan motif sprei satu set ataupun senada dari mulai sarung bantal hingga selimut. 


Suatu hari ketiga saya berusia sembilan tahun dan rawat inap di bangsal anak, di hari ketiga suster mengganti seprei rumah sakit dengan sprei bermotif boneka beruang. Saya merasa sangat senang dan sehat seketika. Melihat semangat saya kembali, Mama langsung request agar seprei yang diganti setiap hari itu dipilih menggunakan motif-motif lucu. 


Sejak saat itu saya belajar bahwa motif sprei dapat membuat mood kita lebih bahagia. 




Pun ketika menikah, saya mencoba untuk terus konsisten menggunakan set sprei dan bedcover senada. Saya berusaha memperkenalkan dan menunjukkan bahwa suami saya tak perlu takut untuk menggunakan seprei berwarna dasar putih. Saya berusaha membiasakan penggunaan bedcover sebagai selimut yang hangat dan juga estetik. 


Seprei tidak harus bermotif gonjreng, yang penting sesuai dengan kepribadian penggunanya dan bisa membuat bahagia. 




Dalam perjalanan menuju dewasa, saya mulai dikenalkan dengan berbagai bahan. Kriteria sprei zona hijau saya semakin bertambah: bermotif netral minimalis dan berbahan ringan. 


Baru-baru ini saya berkesempatan menyentuh dan tidur menggunakan set bedcover berbahan sutra tencel. Rasanya sungguh seperti tidur di awan. Bahkan kucing saya setuju. Meski begitu, harganya pun ikut setinggi awan. 


Saya mulai menandai berbagai toko yang motif dan bahannya sudah lolos seleksi oleh keluarga di rumah. 




Hingga saat ini, masih banyak yang masih harus saya pelajari dan dalami mengenai ilmu seprei dan serba-serbi teman tidur. Mungkin di masa depan saya akan dapat melebarkan sayap ketertarikan saya untuk mempelajari printilan lain... wewangian mungkin? Siapa tahu. 




Yazida. 

20:34 WIB

#Day12 #30DWCJilid46

Komentar