Menara Batu Bata

Terlalu sesak. Sempit.


Aku berusaha melihat secercah cahaya di sekelilingku, namun hanya kegelapan yang ada. Batu bata ini disusun dengan begitu rapat, kokoh, melingkar, dan tinggi. Aku mendongak ke atas. Tak ada bedanya. Hanya gelap. Namun, apakah... apakah setitik semburat itu cahaya? Jaraknya tinggi sekali dari tempatku berpijak.


Bangunan ini sebuah menara batu bata. Namun bukan di bagian atas, aku ada di dasarnya.


Tekstur susunannya begitu kasar. Tak diberi finishing yang halus. Tak ada pintu. Tak ada jendela. Tak ada secuil ventilasi pun, apalagi air dan makanan. Mungkin menara ini memang tidak didesain untuk membuatku nyaman tinggal di dalamnya. Tapi murni untuk mengurungku. 


Kudengar samar suara semak-semak yang dibabat, disusul sepasang sepatu boots yang menginjak tumpukan daun dan kayu kering. 


"Hei, apakah kau di luar?" Kupukul-pukul dinding menara itu dengan percuma. Goresan dan titik-titik merah mulai muncul di telapak tangan. "Aku haus. Apakah kau bisa memberiku air?"


Tenggorokannku begitu kering, bibirku pecah-pecah. Aku tidak ingat kapan terakhir aku bisa minum segelas besar air. Kuharap suara serak ini dapat terdengar oleh sosok familiar itu. Tentu saja itu dia. Hanya ia yang tahu keberadaanku. Faktanya, ia yang mengajakku kemari dan membangunkan menara ini untuk melindungiku dari kejamnya dunia.


Namun hari itu sunyi. Tak ada balasan. Tak ada setetes air seperti yang biasa ia berikan setiap harinya. Sepasang sepatu boots itu terdengar menjauh lalu hilang.




"Heidi, itu bukan cinta," seorang wanita separuh baya di seberang meja merespon ketika aku baru selesai bercerita. Tatapannya tulus, ia sungguh khawatir dengan situasiku. "Cinta itu enggak saling membatasi, mengurung, apalagi menyakiti."


"Tapi, dia mengusahakan yang terbaik buat lindungin aku."


"Dari siapa? Hobi, teman-teman, keluargamu?" Wanita itu bertanya serius. "Dari dirimu sendiri?"


Aku sungguh bingung. Bayanganku tentang apa yang nyata dan tidak, benar dan salah, semuanya seakan kabur dan bercampur. Aku tak tahu mana kata-kata yang betul keluar dari bibir dan pemikiranku, mana yang bukan. Kurasa hanya dia yang tahu. Dia betul-betul orang yang paling memahamiku. Hanya dia yang mampu mengarahkanku. 


"Aku enggak tau, yang jelas aku enggak bisa tanpa dia," aku menggelengkan kepala. Frustrasi dan kehilangan. Haus. Akan kasih sayang, akan perhatian. Darinya seorang. "Enggak akan ada orang yang lebih baik dari pada dia."


"Yang bisa kasih kamu dan bukan menyisakan 'minum' lebih dari satu tetes air? Banyak, Heidi," wanita itu berkata dengan mantap. "Bahkan tanpa perlu kamu minta."


"I don't think I can love anyone else the way I loved him."


"Of course you can't," wanita itu menggeleng. Membuat kacamata besarnya seidkit turun ke ujung hidung. Ia mendorongnya kembali ke pangkal. Dengan suaranya yang dalam dan menenangkan, ia melanjutkan, "Karena setiap individu berbeda, tentu mencintainya juga dengan cara berbeda. Kita mungkin perlu banyak belajar mencintai lagi. And that's okay."


"But we were so happy in the past."


"And hurt, right? Let's not forget that part," sorot matanya prihatin. Ia memandangku layaknya seorang anak kecil yang hilang arah di tengah kerumunan. "Berpegang pada kenangan itu sakit. Bertahan karena harapan dan ekspektasi akan adanya perubahan di masa depan juga sakit." 


Aku masih tak mengerti. Bingung harus mencerna semua ini dari mana. Inti jiwaku kosong. Hilang dibawa pergi sang pemberi luka. Pikiranku sakit. Energiku untuk kembali berpijak dengan kaki sendiri entah hilang kemana.


"Yuk, Heidi, kita keluar pelan-pelan dari menara batu bata itu, ya?"




Yazida.

23:43 WIB

29 Juni 2024

#Day28 #30DWCJilid46

Komentar