Matahari Malu-Malu

Seperti yang sudah dapat diprediksi. Setelah melaksanakan Shalat Eid, mulai terdengar musik keroncong yang bersumber tak lain tak bukan adalah dari perut saya. 


Saya dan suami memutuskan untuk memacu kendaraan di jalanan samping pantai yang renggang. Kami membuka jendela mobil lebar-lebar sembari merasakan angin laut yang semilir karena matahari masih sedikit mengantuk. Kiri dan kanan, saya mengamati gerobak-gerobak kosong yang ditinggal penjualnya merayakan hari raya. 



Kami berkendara sedikit lebih jauh sebelum menemukan sebuah warung makan yang buka, kebetulan kami mungkin pelanggan pertama di hari itu. 


"Nasinya baru dimasak, Mba. Gimana?" Respon seorang wanita paruh baya dari sisi ruangan lain, dapur sepertinya, ketika saya masuk dan mencari si penjual dagangan. Kedua tangannya masih memegang beberapa perlengkapan masak. 


"Oh, enggak apa-apa Bu. Kebetulan mau beli lauknya aja. Udah ada apa aja nih, Bu, yang siap?"


Wanita berkerudung menjelaskan secara singkat dua lauk yang telah matang diolahnya. Setelah paham dan setuju, ia mulai mempersiapkan plastik kemudian memasukkan beberapa centong sayuran berkuah yang masih beruap. Aroma wangi yang menggelitik lambung saya sedari tadi, kini semakin semerbak saja. Saya menelan ludah hingga dua kali. 


"Aslinya mana, Mba?"


"Saya? Kota sebelah, Bu. Ini lagi mudik ngikut suami."


"Rumah suami di daerah mana, Mba?"


"Di situ, deket. Tapi saya lupa nama daerahnya karena masih baru-baru ini menikah," saya tertawa kecil sambil reflek menggaruk belakang kepala. "Kata suami, dulu Bapak sering makan di sini."


Mata teduh yang ujungnya mulai berkerut itu tersenyum dan ikut tertawa. Beliau melontarkan beberapa pertanyaan hangat lanjutan sembari membungkus beberapa lauk dan sayur yang telah saya pilih. 


"Mba-nya cantik banget," wanita itu berkata tiba-tiba setelah menerima uang pas yang saya berikan. "Saya seneng kalau ngobrol sama orang cantik."


Saya mungkin sempat mangap sepersekian detik kemudian buru-buru unjuk gigi sambil tertawa canggung. Maklum, setelah saya pikir-pikir lagi, entah kapan terakhir kali ada sesosok orang asing yang dalam sekejap bisa seakrab dan sehangat ini pada saya. 


"Aah, Ibu," pada titik ini mungkin pipi saya sudah mulai memerah. "Aamiin. Terima kasih banyak, Bu."


Saya membungkuk ramah beberapa kali sebelum membuka pintu dan kembali duduk di kursi penumpang. Dari balik kemudi, suami saya mulai membawa kami meluncur ke rumah. 


Jendela masih terbuka. Angin laut masih semilir. Namun, entah bagaimana, mengapa cahaya matahari yang malu-malu menyelinap di antara dedaunan terasa begitu indah... dan juga hangat di kalbu? 


"Bebi, kata Ibu tadi aku cantik."


"Memang cantik."




Yazida. 

21:44 WIB

#Day18 #30DWCJilid46

Komentar