Treasure

Terbiasa dimanjakan oleh udara bersih dan volume kendaraan yang relatif sedikit, sangat mudah bagi saya untuk pergi dari ujung kota ke sisi lain dalam waktu singkat. Kata macet nyaris tak ada dalam kamus saya selama enam tahun lamanya tinggal di tanah kelahiran, kecuali saat hari raya ya.


Saya teringat ketika pertama kali kembali ke tanah kelahiran setelah enam tahun sebelumnya mencicipi tanah semi padat penduduk. Wajah anak yang baru lulus Sekolah Dasar itu banyak tertekuk cemberut, ia cerewet, dan begitu marah kepada dunia.


"Di sini nggak ada mall. Di sini toko bukunya kecil. Aku nggak suka."


Dan masih banyak lagi poin yang Yazida kecil komentari. Merasa seperti makhluk paling tersakiti di dunia. Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, bentuk protesnya tergolong lantang... namun juga lucu. Pun meski ia mengeluh setiap hari, orang tuanya tak sedikitpun terdorong untuk mengembalikannya ke tanah semi padat penduduk itu.




Yazida dewasa kini menjejakkan kaki sebagai penduduk Ibu Kota.  


Minggu lalu, kereta kilat andalan saya untuk pulang-pergi bekerja sempat berhenti beroperasi karena adanya alat berat yang menimpa jalurnya. Saya dan ribuan orang lainnya kalang kabut, berserakan di seputaran stasiun yang seluruh gerbangnya ditutup. Kendaraan roda dua berjaket hijau tumpah ruah.


Setiap hari memang macet. Tapi hari itu, kemacetan menduduki level yang jauh lebih ekstrim. Butuh hampir 120 menit bagi saya untuk mendarat dengan aman di rumah. Normalnya? 45 menit. Masih terdengar lama? Oh well.


Dari situ saya sadar bahwa udara bersih, waktu singkat, dan jarak yang terasa dekat merupakan sebuah definisi lain dari harta karun.

Mungkin memang tidak ada kota atau tempat yang seratus persen ideal untuk segalanya.


But sometimes, we might have took everything that usually been there around us in a daily basis... for granted. 



Yazida.

21:59 WIB

#Day4 #30DWCJilid46

Komentar