Kindred Neighbor
"Halo Mba, akhirnya ketemu juga sama yang sering masak di sini."
Wanita itu mengangguk ramah setelah menyapa saya. Ia berjalan pelan menuju sebuah kompor ungu, persis di sebelah kompor merah milik saya. Di tangannya terdapat beberapa alat masak kecil dan sebuah kemasan bahan makanan.
Saya sedikit terperanjat tapi tak begitu terkejut. Pasalnya sudah beberapa kali saya mendengar percikan minyak maupun keran yang mengaliri piring, tepat dari depan pintu kamar. Meski begitu, jadwal masak kami tidak pernah beririsan sehingga kali ini menjadi sesi masak dan interaksi kami pertama kali.
"Ini, Paksu request dibikinin Nutrijel katanya," ia menjelaskan sambil mengangkat sebuah kemasan.
Kami berdua tertawa kecil dan kembali melanjutkan obrolan. Saya memotong sayuran dan bawang putih, ia mengisi dan merebus air.
"Aku mah males kalau harus naik tangga dulu baru masak Mba, bawaan hamil kali ya."
Dari situ saya tahu, kami berdua sama-sama pengantin baru. Ia tinggal bersama suaminya di kamar bawah, sebelah tangga. Kebetulan memang di lantai tersebut tidak ada dapur bersama. Wanita itu hanya sesekali naik untuk masak masakan sederhana seperti menggoreng atau merebus, itupun ketika ia sudah sangat ingin.
"Kalau di rumah orang tua, biasanya aku disediain makanan Mba. Nggak ada masak-masak gini," katanya ramah sambil mulai mengaduk-ngaduk air di panci. "Jadi tinggal fokus kerja aja."
Saya mengangguk-ngangguk. Merasa setuju dan relatable dengan ceritanya. Pasalnya selain memasak air, mie, dan telur, saya 'lulus' dari keluarga di rumah dan pindah satu atap bersama suami hanya berbekalkan dua resep lainnya saja. Serius, sampai keluarga saya saja bosan, hahaha!
Ia melanjutkan ceritanya, "Udah gitu mah aku dapet suaminya picky eater. Sehari harus ganti menu dua kali. Harus selalu fresh, nggak boleh diangetin."
Tanpa sadar mulut saya membentuk huruf O kecil. Masih mengangguk-ngangguk. Pada titik ini timbul rasa syukur akan suami saya yang merupakan golongan omnivora. Pun suami saya juga dilengkapi beberapa fitur ekstra: hampir tidak pernah request menu, lebih lincah saat masak sendiri, mengutamakan kepraktisan, dan... lebih suka makan makanan dingin.
Khusus poin terakhir, saya pun masih kesulitan memahaminya.
"Bebi, aku tadi ngobrol sama Mba Mba yang suka masak di depan," saya mulai bercerita ketika suami saya sampai di rumah.
Suami saya menyimak sambil mengangguk dan mengeluarkan beberapa 'hm' singkat. Ia menanggapi, "Kok bisa ya, baru kenal udah cerita banyak gitu?"
Saya mengangkat bahu kedua bahu, "Mungkin seneng kali ya, punya tetangga dan temen ngobrol. Aku aja seneng. Kayaknya emang ini yang aku butuhin."
Suami saya kembali mengangguk, kali ini setuju. "Akhirnya punya tetangga juga ya."
Yazida.
23:28 WIB
#Day5 #30DWCJilid46
Komentar
Posting Komentar