The Gentle Art of Letting Go

"Aku kayaknya mau ikhlasin aja."




"Ikhlasin gimana maksudnya?" Tak hanya satu, tapi semua lawan bicara yang kuajak bicara dalam beberapa sesi yang berbeda merespon dengan senada. Kedua alis mereka bertaut. Mata mereka menatapku dalam dan khawatir, berusaha menilai seberapa serius ucapanku barusan.


"Iya, ikhlasin aja," jelasku santai. Balik menatap mata mereka dengan lantang. "Enggak usah lulus enggak apa-apa. Enggak punya gelar enggak apa-apa."


Mereka yang sedari tadi berusaha menganalisis jiwaku hingga sudut terkecil, kini telah sepakat pada sebuah kesimpulan: aku mungkin memang sudah sinting.


Tiga tahun lamanya mengambil kuliah jurusan tentang mind, mental, and behavior justru menjadi ajang kamuflase untuk rawat jalan. Memori sukacita dikelilingi orang-orang berpendekatan lembut, selalu haus dalam menyambut ilmu baru setiap harinya, aktif berkomunitas lintas fakulkas, hingga menjajal peruntukan sebagai asisten dosen tiba-tiba seperti hilang ditelan bumi ketika aku dihadapkan dengan satu langkah yang katanya akhir... bernama tugas akhir.


Tiga berubah menjadi empat. Empat menjadi lima. 


Kurasa tidak ada manusia waras di muka bumi yang secara tiba-tiba mengambil pilihan seekstrem ini. Cita yang hilang, impian yang dilupakan, daya juang yang mati.


Sayangnya ada terlalu banyak anak tangga dan langkah yang harus diambil untuk sampai di sisi lain sebuah gunung bernama tugas akhir. Membayangkannya saja aku sudah lelah. Gunung itu terlalu tinggi. Dari mana aku bisa mendapatkan daya dan kekuatan sebesar itu, kalau berjalan lurus perlahan saja hampir tak mampu? Sudah tidak banyak waktu yang tersisa. Apakah masih mungkin diselesaikan dengan cepat? Sedang memulainya saja entah harus dari mana.


Dan yang lebih menakutkannya lagi... bagaimana jika aku gagal di tengah pendakian? Bukankah lebih baik tak perlu mendaki saja?


Di tengah beratnya pemikiran-pemikiran yang berorientasi pada kesempurnaan hasil dan produk si tugas akhir, seorang lawan bicara duduk dan merendahkan tubuhnya, satu anak tangga di bawahku. Dengan kedua matanya, ia menangkap pandanganku yang tertunduk ke bawah. "Kamu butuh apa? Tidur di tempat tenang? Main game? Makan enak?"


Kini giliran kedua alisku yang bertaut. Kepalaku sedikit miring ke kanan, berusaha mencerna maksudnya.


"Tugas akhir memang tujuannya," jelasnya. "Tapi jangan lupa, kamu dan tubuhmu yang akan diajak berjalan butuh didengar, dipenuhi, dan diprioritaskan kebutuhannya terlebih dulu."


Aku mengangguk kecil.


"Tentang kesempurnaan? Ikhlaskan saja," katanya sambil perlahan bangkit berdiri dan membuatku menengadahkan pandangan. Sambil mengulurkan tangan, ia berkata, "Tugas akhir itu belajar. Toh enggak ada yang tuntut harus sempurna."


Aku menyambut tangannya dan ikut berdiri.


Sembari melangkahkan satu kakinya ke atas, sejajar denganku, ia tersenyum hangat, "Yuk. We've got to start somewhere."




Yazida.

14:28 WIB.

#Day22 #30DWCJilid46

Komentar