Diamnya Daya

"Kan bisa kau tolak saja!" Lelaki itu mendengus.


"Menolak keputusan orang tuaku di hadapan puluhan orang lainnya?"


"Iya, tolak saja," ia membanting selinting kretek yang baru sedikit dihisapnya. Apinya langsung padam karena jatuh di dalam lumpur yang baru ditanami padi kemarin. Figurnya yang tegas kini tampak mengeras, sekilas otot di rahangnya berkedut. "Biar kuingatkan lagi, itu keputusan besar yang seharusnya mereka diskusikan dulu denganmu, Ya."



Kuakui, selama ini aku memang banyak diam dan memendamnya sendiri. Bukankah perempuan dituntut menerima dan mengikuti saja sembari tutup mulut? Bertanya dianggap memberontak, beropini dianggap tidak patuh.


Lagi pula diamku saat itu menghindarkan kami semua dari rasa malu dan konflik berkelanjutan yang akan menjalar kemana-mana. Ada martabat keluarga yang harus kujaga.


"Hidup memang tak selalu seperti yang kita mau, Mas," aku masih duduk di pinggir gubuk peristirahatan yang melindungi kami dari terik. Anginnya semilir. Dari balik air mata yang menggenang di kelopak, kutatap sosoknya yang sedikit limbung. Suaraku mulai bergetar, "Kuharap Mas bisa memahami posisiku."


"Ini terlalu sulit, Ya," lelaki itu menggeleng tipis. Napasnya berat dan penuh amarah. Tangisnya tumpah. Dengan suara serak, ia melanjutkan, "Ini tak seperti Daya yang aku kenal! Bagaimana caranya memahami bahwa minggu depan kekasih hatiku ini akan bersanding di pelaminan sebagai istri ketiga Pak Sutedjo dan bukan denganku?!"


Ia benar. Ini sulit. Bahkan untukku yang akan menjalaninya.


Napasnya semakin tidak teratur, dadanya yang bidang terlihat naik turun dari balik kaus buluk tak berlengan yang ia kenakan. Lelaki itu menempelkan kedua lututnya ke tanah yang panas tak terlindung atap, bersimpuh, lalu menggenggam kedua tanganku, "Tunggu aku, Ya. Dua tahun saja. Biarkan aku kerja ke kota agar bisa melamarmu dengan layak."


Aku menggeleng. Kukibas lepas kedua genggamannya lalu menyembunyikan tangan di balik punggungku. Kukepalkan erat-erat. Mencoba menguatkan diri dari segala dampak berkelanjutan yang akan mengikuti keputusan besar yang telah dipilihkan untukku. 


Mungkin tak akan ada malu. Mungkin martabat ini akan tetap terjaga. 


Namun... akankah diam dan kurungan ini semakin menyesakkan? Akankah nestapa dan kemalangan dapat berhenti kuwariskan pada darah keturunanku? Akankah ada ruang untuk tumbuh dalam cinta? Entahlah.


"Maafkan aku, Mas," aku berdiri dan mulai melangkah menjauhi gubuk kecil itu tanpa menoleh lagi. "Terkadang, keputusan memang tidak ada di tangan kita. Tapi hidup harus terus berjalan."




Yazida.

23:43 WIB

#Day23 #30DWCJilid46

Komentar