Kilas Kepresidenan dari Sorot Seorang Anak

Lebih dari tujuh puluh tahun sudah Indonesia-ku berdiri. Dengan kaki dan tubuhnya sendiri, lepas dari ketergantungan negara koloni. Bangsaku belajar untuk hidup mandiri.

Reformasi. Aku masih seorang bayi hitungan bulan saat pergolakan hebat terjadi di Negara Adidaya ini. Menimbulkan kisruh yang membuat nyawa melayang, juga seorang Presiden yang harus lepas tahta.

Kemudian aku tumbuh sebagai bocah yang pasrah menjalankan segala aturan dan kebijakan pemerintah yang masih di luar nalar anak-anak pada umumnya. Terlalu polos, naif, dan tidak peduli.

Sekolah Dasar menjadi masa pertamaku menyadari adanya sistem dalam negara yang kusinggahi ini. Demokrasi namanya.


Aku juga baru menyadari betapa tinggi antusiasme warga dalam memilih Kepala Negara baru. Iring-iringan kendaraan dengan knalpot besar yang digas berkali-kali, menimbulkan gaduh berisik di jalan raya. Kaki-kaki kecil para bocah tak tahan diam dan mulai beranjak dari bangku belajar menuju jendela terdekat... mengintip.

Patai-partai beraneka warna saling beradu. Terselip di antara ingatan barbarku, nama dua buah partai yang bisa dibilang sama. Hanya saja salah satunya memiliki tambahan satu huruf P ekstra.

Kilas balik ini tidak hanya berhenti di situ.

Suatu hari pada saat duduk di kelas lima, ketika Presiden yang harus lepas tahta pada masa aku terlahir ke dunia tersebut harus pergi dipanggil Sang Khalik, versi kecil diriku pun ikut menitikan air mata. Menyaksikan pembumian Beliau melalui layar tancap dadakan di ruang aula besar, berisi siaran langsung dari salah satu stasiun televisi.

Mungkin menyadari bahwa masih ada sisi manusia dalam diri kekanakanku, meski kenal Beliau pun aku tidak.

Teringat masih kurusnya RI 1 dulu, ketika masih memimpin Kota Liwet dan bermukim di belakang Sekolah Dasarku. Mana menyangka beliau kini betul-betul menjadi tokoh nomor satu di negara ini?

Begitulah.

Sedikit kilas balik seorang anak yang menyoroti sejarah kepresidenan, dalam sudut pandang polosnya. Dengan segenap asumsi, pemikiran, juga rasa yang ada... tentu pernah kita lewati masa-masa tersebut.

Selamat Hari Anak Nasional 2017!

Mari kita bantu dan bimbing selalu bibit-bibit unggul calon penerus bangsa kita ini. Agar apa? Agar kelak, mereka dapat paham dan siap mengambil tanggung jawab besar atas keberlangsungan bangsa besar ini.

Satu hal lagi yang harus kita cegah bersama, yaitu timbulnya aksi tutup mata dan telinga anak, dari segala hal berlabel... Indonesia.



#30DWCJilid7 #Day18

Komentar