Bantal, Selimut, dan Kehangatan
"Mbajid, yu tidur di sini?"
Samar-samar kulihat Yasmin, adik perempuanku, berdiri sejenak sekitar satu meter jauhnya dari posisiku. Memandangiku prihatin, entah apa yang dipikirkannya. Namun ketika aku menjawab singkat setengah sadar, kurasa ia bergumam kecil sambil berlalu pergi. "Aku belum tidur, tahu."
Setelahnya aku kembali memejamkan mata.
Spot santai baru yang terletak di salah satu sudut rumahku langsung menjadi idola seluruh penghuni rumah belakangan ini. Sementara aku –yang memilih wallpaper bernuansa hijau-biru-putih, juga sebuah sofa senda– malah belum sempat menikmatinya.
Malam tadi kusempatkan bernyaman ria di spot baru ini. Sebuah laptop kecil cokelat duduk manis pada meja lipat. Kuletakkan sejajar dengan tubuhku, kedua kakiku lurus masuk ke dalam celah kaki meja lipat dan tembus ke sisi lain.
Beberapa tulisan yang belum sempat kupublikasikan, akhirnya kubabat tuntas malam itu juga. Komitmen diri yang berulang kali mendapat dukungan untuk segera dituntaskan.
Pukul tiga lewat lima belas menit dinihari, aku belum terlelap.
Mungkin ketika aku kembali meluruskan kaki dan menyandarkan punggung, ritme nafasku mulai berubah pelan dan teratur. Entah pada detik keberapa mataku terpejam rapat. Entah pada detik keberapa Yasmin terbangun untuk memergokiku tertidur pulas di sofa biru-putih ini...
... juga entah pada detik keberapa sebuah tangan mengangkat kepalaku, menyelipkan sebuah bantal empuk hingga ke punggung, memindahkan meja lipat beserta segala senjata kepenulisan yang tergeletak di atasnya, melepas kacamata hitam-merah yang sedari tadi masih bertengger di hidungku, dan melapisi tubuhku dengan selimut lembut dua lembar.
Mama.
Untuk kesekian ratus kalinya, dua perempuan dalam keluargaku yang kusebutkan di atas tadi selalu bisa membuatku mengerti definisi nyaman, hangat, rumah, tanpa perlu terucap barang satu patah kata pun.
Kamis, 6 Juli 2017
22.34 WIB
#30DWCJilid7 #Day1
Komentar
Posting Komentar