Filling the Container


Hampir satu tahun yang lalu, saya pernah memberi hadiah sebuah botol kosong kepada salah satu teman saya. Waktu ditanya apa maksudnya, saya bilang ke dia, "Kalau kamu mau belajar suatu hal baru, di tempat baru, jadi kayak botol itu. Kosong. Jangan berisi dulu, nanti tumpah waktu diisi. Nggak dapet apa-apa."

Dulu analogi itu saya gunakan tanpa pikir panjang. Sudah terlampau umum, pikir saya. Terdengar dari satu tempat ke tempat yang lain. Intinya hal baru ditambah tempat baru, ya kosongkan wadah.

Hingga satu minggu yang lalu.

Seorang supervisor yang mengisi agenda kepanitiaan saya menanamkan bibit-bibit keraguan dan akhirnya sukses mematahkan analogi yang sudah sekian lama saya telan itu. Namanya Mas Erfan.

"Apa yang ada dalam wadah itu kan bagaimanapun sebagian dari kita," katanya. "Nggak bisa lah kita buang begitu aja."

Saya menyimak.

"Apa yang sudah terjadi, apa yang sudah kita pelajari, ya itulah yang mengisi wadah kita tadi. Itu modal kita.

"Seiring berjalannya waktu, pelan-pelan wadah kita pasti akan terisi."

Dia mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan, "Nah kalau penuh, gimana? Ya kita ganti wadah kita dengan wadah yang lebih besar, yang daya tampungnya lebih besar.

"Dari gelas ke baskom, baskom ke ember, ember ke aquarium, aquarium ke kolam, kolam ke danau, terus begitu. Kita yang harus selalu upgrade diri, upgrade kapasitas.

"Nantinya modal yang kita punya itu untuk apa? Untuk dasar. Dasar memproses hal-hal yang baru kita pelajari, dasar mencerna dan menyaring informasi baru, dasar membandingkan pengetahuan, dasar update materi lawas."

Make sense.

Mas Erfan menutup statement-nya, "Bayangkan kalau wadah berisi kita dikosongkan, semua hal baru masuk tanpa diproses karena nggak ada pembanding. Kita baru dan harus isi modal lagi, dari nol."



Saturday, July 15th, 2017.
02.43 a.m.

#30DWCJilid7 #Day9

Komentar