Both Ways
"YAZ, AKU MAU CERITA, YAZ!"
Ryan, partner saya, memasuki ruangan training dengan energi menggebu-gebu. Di belakangnya, sembilan orang lain mengikuti langkah Ryan dan duduk di sebelah partnernya masing-masing.
Saya mengutak-atik buku catatan cokelat kecil saya.
"Yaz? Aku mau cerita ini lho..."
"Hm," dapat saya lihat dari ujung sudut mata saya, laki-laki berkemeja biru muda itu bergerak-gerak resah di kursinya. Pandangan saya sama sekali tidak saya palingkan dari buku catatan.
"Walaah, aku dicuekin partnerku masa?!" Ryan berteriak kencang. Ruangan memang sedang ramai-ramainya, tapi suara yang satu ini pasti lolos tertangkap indra pendengaran siapapun juga. "Yaz, masa aku dicuekin?"
Pulpen saya menari-nari di atas kertas, merapikan catatan dan menggarisbawahi poin-poin penting materi yang kami dapatkan hari ini.
Ryan memutar pandangannya, lurus ke arah depan. Punggungnya ia hempaskan ke sandaran kursi. Terdiam. Agak lama.
"Katanya mau cerita." Saya buka suara. Datar. Tanpa sedikit pun berpaling dari catatan kecil saya.
"Aku sebenernya bingung mau cerita apa," Ryan menoleh. Mendekat ke arah saya dan mulai bersuara lagi. "Jadi gini, Yaz."
Selama lima menit selanjutnya, tidak lebih dari kata 'ya, hm, terus, oh' singkat yang saya keluarkan sepanjang cerita Ryan. Sesekali pulpen saya berhenti saya goreskan. Pandangan saya edarkan dengan malas. Mayoritas ke sisi sebelah kanan, mengabaikan Ryan di sisi kiri.
Satu-dua kali saya bertemu pandang dengan Dea dan Nadia yang duduk di seberang saya. Keduanya bermuka masam.
"Yak, cukup." Co-Trainer kami berdiri di depan kelas, mengambil alih. "Sekarang yang tadi di awal duduk, keluar ruangan. Yang tadi keluar ruangan, sekarang duduk."
Saya meletakkan pulpen dan buku catatan kecil saya di lantai, berjalan cepat menuju pintu, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
"GILA!"
Salah satu teman saya dalam kerumunan yang memenuhi koridor berteriak kencang. Yang lainnya sibuk tertawa. Geli. Wajah kami merah padam.
Saya melempar diri di bangku panjang depan ruangan. Menyandar sambil memegang pipi saya yang panas, mengatur nafas saya agar segera normal kembali.
"Gimana tadi?" Co-Trainer kami bertanya setelah pintu ruangan tertutup.
Gelengan, kedua tangan memegangi perut, tawa yang semakin membahana, hadir sebagai wujud jawaban akan betapa menggelikannya role play pendengar pasif yang baru saja harus kami perankan dalam menghadapi partner kami.
"Sekarang, kalian masuk. Ceritakan hal menarik apapun kepada partner kalian. Sesuatu yang menyenangkan, wajib menggebu-gebu." Co-Trainer kami menjelaskan dengan penuh semangat, lalu membuka pintu dan bertanya, "Siap?"
Kami bersepuluh berdesakan memasuki ruangan. Saya setengah berlari, masih tertawa dengan sebelah tangan memegangi dahi, kemudian duduk di sebelah partner saya.
"YAN!"
Saya ngakak lagi. "Aku juga nggak tau mau cerita apa, tapi ini semua hilarious banget, sungguh!"
Kami berdua ngakak saat bertukar sudut pandang tentang kejadian tadi. Saya yang tadinya sempat takut Ryan nggak akan mau dengerin saya lagi setelah apa yang saya lakukan ke dia, menghapus pemikiran itu bersih-bersih.
Dia masih mau jadi pendengar saya.
Penjelasan dan penjabaran mengenai apa yang baru saja kami lakukan, membuat saya terenyuh. Juga merenungi beberapa hal.
Pertama, bahwa kehadiran kita dalam percakapan, baik secara fisik maupun pikiran, akan memberikan kesan tersendiri bagi lawan bicara kita. Kesan apa? Kesan bahwa kita benar-benar hadir dan ada untuk mereka.
Kedua, mendengarlah secara aktif. Ini bukan hanya mengenai apa yang dapat kita dengar saja, tapi juga dengarkan apa yang tidak dapat kita dengar. Ekspresi wajah, suara, bahasa tubuh, reaksi yang mereka berikan terhadap sesuatu. Hendaknya tidak luput dari sensor kita.
Juga empati. Kemampuan kita untuk dapat menempatkan diri pada posisi orang lain, yang juga bisa kita dapatkan dengan mendengarkan lebih... melalui mata dan hati.
Sungguh, setelah role play kedua yang Ryan mainkan dengan saya –tidak berpaling sedikit pun dari saya, antusias mendengarkan apa yang saya katakan, merespon dengan jauh lebih manusiawi–, juga mengingat fakta bahwa selama berpartner dengan saya, kejadian role play pertama mutlak tidak pernah terjadi... hal ini seperti mengiyakan ketiga hal yang saya tulis di atas.
Bahwa iya, betapa nikmatnya saat orang lain begitu hadir dalam percakapan yang kita buat, betapa bahagianya saat orang lain begitu bersungguh-sungguh mendengarkan apa yang kita katakan, dan betapa bersyukurnya saat orang lain betul-betul mencoba untuk menempatkan diri mereka untuk bisa berada pada posisi kita.
#30DWCJilid7 #Day22
co fas be like
BalasHapus