The Conversation: About Happiness
"Menurutmu, kebahagiaan itu apa? How do you determine happiness?"
Dua buah pesan chat masuk melalui aplikasi Whatsapp saya, kemarin sore. Intinya sama, ditanyakan dua kali dalam bahasa yang berbeda.
Saya langsung faham, ini pasti butuh jawaban berat.
On point, saya minta waktu buat berfikir, baru bisa kasih jawaban malam harinya karena biasanya saat sore hari insight jarang muncul. Sambil berfikir keras karena saya nyambi berfikir buat materi UAS keesokan hari plus berfikir mau buka puasa pakai apa hari itu, saya akhirnya kasih link ini ke dia, disertai kalimat, "Jawabanku dua tahun yang lalu. Kalau sekarang, tunggu insight yaaa, sementara itu dulu."
Happiness?
Setelahnya saat menunggu adzan maghrib di Masjid Kampus seberang fakultas saya, saya merenung. Berfikir keras.
Akhirnya selepas maghrib, berbuka, dan isya, saya sadar kalau saya nggak bisa jawab pertanyaan itu malam ini. Saya minta waktu tambahan untuk jawab, kali ini lagi-lagi disertai statement yang sudah pernah saya tulis sendiri juga:
- Bisa jadi diriku sendiri.
- Bersama dengan orang yang tepat.
- Bersama dengan orang yang tepat (lagi). Karena saat bersama dia, aku bisa jadi diriku sendiri.
Saya kasih link lain lagi (kali ini bentuknya cerpen), dengan kalimat penutup, "Klise banget ya? Tapi waktu nulis itu, aku jujur kok sama diriku sendiri..."
Dia bingung.
Dan walaupun kalimat poin kedua dan ketiga sudah saya ganti bahasanya dari 'bersama dengan orang yang tepat' menjadi 'spending time with the right person', dia malah mengajukan pertanyaan lain yang semakin membuat otak saya mendidih.
Saya menolak jawab, saya keep pertanyaannya.
Sekaligus belum menjawab pertanyaan awal yang dia ajukan dengan hal yang terlintas di fikiran saya sekarang. Bukan kemarin, bukan dua tahun yang lalu...
Hari berganti.
Ketika saya terbangun dalam posisi duduk meluruskan kaki di kursi panjang kereta yang malam ini, tepat beberapa menit sebelum kereta saya berhenti di kota yang saya tuju, jari-jari saya mengetik.
Begitu saja. Insight saya telah datang.
Bahkan beberapa menit berikutnya setelah turun dari kereta, saya betah duduk manis di ruang tunggu stasiun. Melanjutkan jawaban saya.
Mengenai apa yang saya tulis... ini dia.
***
Jawabanku soal kebahagiaan kemarin masih sama, setelah aku pikir-pikir ulang.
- Bisa jadi diriku sendiri.
- Bisa menghabiskan waktu dengan orang yang tepat.
- Bisa menghabiskan waktu dengan orang yang tepat, dengan tetap menjadi diriku sendiri.
Dan jawabanku di luar itu? I think happiness is when my presence can be meaningful for another. Ketika kehadiranku di hidup orang, even walau satu orang aja, bisa menjadi sesuatu yang bermakna.
Pernah suatu hari, temenku yang aku pernah bilang di conversation yang lalu soal 'Yaz, nggak capek mikirin aku?' itu mendefinisikan aku semacam I care too much buat temen-temenku so that aku nggak mikirin diri sendiri, hahahahah...
Itu katanya.
But that's who I am. Temenku kenapa-kenapa, ya aku cari. Cari sampai ketemu, sampai tau alasannya.
Iya, kadang penolakan pasti ada. Semacam kalimat di atas itu, yang saying that I should care more about myself rather than orang-orang di sekitarku.
Tapi percaya deh, that moment saat orang itu 'berterima kasih' minimal 'menyadari' apa yang coba kita lakukan buat dia, in a positive way, it feels really amazing.
Tahu bahwa kehadiran kita 'dibutuhkan' dan 'punya makna tersendiri' di kehidupan orang lain, itulah...
... that's how I determine happiness.
Yazida,
Selasa, 30 Mei 2017,
21.15 WIB.
#30DWCJilid6 #Day14
#KeepWriting #Day50
Komentar
Posting Komentar