Night Life Saver

Menjadi salah satu penderita mag memang nggak enak.

Kalau sudah kambuh? Parah. Efeknya bisa berdiam diri di kamar seharian dengan posisi bayi (meringkuk dan di bagian perut diganjal pakai bantal menurut saya sangat membantu mengurangi sakit) seharian.

Kalau sudah kambuh, rasanya seperti ada sesuatu yang naik sampai tenggorokan saya. Lidah saya juga somehow berubah jadi putih.

Kalau sudah kambuh, mau makan sudah susah. Nggak enak rasanya. Tapi kalau nggak makan? Hahahah, tambah parah.

Intinya harus benar-benar dijaga supaya tidak kambuh.



Malam ini saya menghempaskan diri di kos sweet kos lewat pukul sembilan malam. Memegangi perut saya yang keroncongan. Sore tadi, pilihan saya menyantap salad buah saja, cukup salah rupanya. Buktinya si empu yang tadi sudah diisi, masih bisa protes minta diisi lagi dengan kalau istilahnya orang Jawa: makan dengan makanan yang benar a.k.a. nasi.

Saya membuka freezer di dapur kos saya, luckily, pintu dapurnya berada persis di kanan depan pintu kamar saya. Saya mengamati bungkus pan pizza beku yang kemarin sudah ludes isinya saya makan ketika si empu mendadak berteriak lapar pukul tiga pagi, sebelum akhirnya memasukkan bungkus tersebut ke dalam tempat sampah.

Donat? Masih beku. Harus menunggu beberapa saat baru bisa digoreng. Apalagi risoles mayo dan chicken wings yang jauh lebih padat! Hmmm...

Setelah menutup pintu freezer, kaki saya beralih ke gudang timbun makanan di salah satu tempat di kamar saya (sengaja saya rahasiain biar nggak ada yang tau 👀).

Seketika cahaya surga menyorot: sebungkus mie instan rebus rasa soto tergeletak manis di pojokan.

Bersemangat, saya langsung meluncur ke dapur dengan the only harta karun yang saya temukan malam ini. Ketika masuk dapur untuk yang kedua kalinya...

Deg.

Saya menoleh ke kanan. Tidak ada. Saya menoleh ke kiri. Tidak ada.

Wo ow. Panci kos sudah raib (eh, yakali raib, kayak ada yang mau nge-maling panci aja, Yaz, wkwkw)! Panci kos menghilang!

Pupus harapan, saya berjalan gontai, terseok-seok menuju kamar saya dan kembali menghempaskan diri di atas kasur. Mengambil teman berpelukan saya (baca: guling), memeluknya erat berharap cepat tidur agar rasa lapar ini cepat hilang dari fikiran saya. Berharap pagi segera datang supaya bisa segera ke warung makan, menyantap nasi dan beraneka lauk dan sayur enak harga enam ribu. Berharap perut saya tahan.

Empu, tolong tahan yaaa :")

Berharap... berharap... berhar

Tek teretek tek tek tek.

Wait... jangan bilang barusan itu...

Tek teretek tek tek tek.

ALHAMDULILLAH, ADA MAKANAN LEWAT!!!

Setengah berlari di kos sendiri, saya membuka pintu depan dan melongok ke arah sumber suara: sebuah gerobak yang warnanya tidak terlalu bisa saya lihat karena gelap. "PAK, PAK, BELI PAK!"

Seorang pria setengah baya menoleh, kemudian memastikan, "Ini mie ayam, Mba."

"IYA, PAK. NGGAK PAPA," teriak saya saking semangatnya. Memang sih, kalau diingat-ingat lagi, saya bener-bener nggak ada bayangan bakul makanan apa yang kebetulan lewat di depan kos saya ini. Yang penting makanan. Dan definisi itu sudah cukup buat menolong saya. "MIE AYAM SATU, PAK."








#30DWCJilid5 #Day25

Komentar