Old Wounds


Mataku terpaku. Jari-jariku berhenti di atas tombol-tombol putih keyboard yang menempel pada laptop berwarna senada.

Sunyi panjang sebelum hembusan nafasku terdengar lirih, memecah keheningan.

"Nurul." Aku memanggil seorang gadis sebaya denganku yang sedang menenggelamkan diri dalam materi presentasi kami nanti siang, masih sibuk ia rapikan sana-sininya. "Apa semenyedihkan ini rasanya nulis biografi singkat tentang diri sendiri?"

Mataku sudah mulai berkaca-kaca.

Pagi ini memang selasar fakultasku masih lenggang. Hanya kami dan beberapa orang lain yang turut berkumpul mengerumuni colokan listrik yang tersebar hampir di setiap sisi pilar bangunan ini.

Nurul mengalihkan pandangannya ke arahku, "Nggak cuma kamu kok, aku juga sedih." Nurul tersenyum kecil menanggapi tugas deskripsi diri untuk mata kuliah Teori - Teori Kepribadian, yang nantinya akan kami analisis kembali, sembari melanjutkan, "Inget-inget cerita yang lalu, kadang emang butuh membuka ulang luka yang udah mulai kering."

Aku menelan ludah. Mendongakkan leherku ke atas dan memejamkan mata. Menarik nafas panjang... menghembuskannya pelan. Tarik nafas... hembuskan.

Dapat kurasakan aliran air turun mengalir dari dalam kelopak, ke arah dalam hidung, terus ke bawah hingga aku kembali harus menelan ludah, membersihkan ulang tenggorokanku.

Aku menggeleng pelan dan mulai membuka mata. Menatap monitor menyala di hadapanku dan memaksa jemariku kembali menari di atas tombol-tombol putih keyboard.



***



Masa kecilku cukup suram. Masa SD, terutama.

Pada kelas empat aku pernah menjadi korban omongan bohong salah satu teman sekelasku. Berbagai hal menyakitkan sudah aku dengar, dari mulai dibilang membicarakan orang di belakang, hingga yang paling menyedihkan: mereka bilang aku mencuri.

Aku menjalani satu hingga dua semester kelas empatku saat itu hanya sendirian saja. Semua temanku tidak ada yang bertahan dalam radius tiga puluh cm dariku, lebih dari sepuluh detik. Semuanya menyingkir, mengunci mulut mereka rapat-rapat dari berbincang apapun denganku.

Bahkan, sekedar hai sederhana pun, semua seperti sepakat menariknya jauh-jauh. Takut jika tertangkap tangan berurusan denganku, akan ikut dikucilkan.

Seperti salah seorang sahabatku yang kemanapun kurangkul semenjak awal menginjakkan kaki di bangku SD, yang kemudian mulai dirangkul orang lain dan dibawa menjauh.

Suatu hari saat kelas kosong menyisakan kami berdua, aku hanya duduk memandangnya dari bangkuku di sudut kelas, ketika pertanyaan itu tanpa dapat kucegah, terlontar begitu saja dari bibirku, "Kamu percaya kan, sama aku?"

Diam sejenak.

"Aku percaya," suaranya lirih, "tapi aku nggak bisa nunjukin di depan yang lain. Maaf, Yaz."

Maka wajar jika beberapa kali seorang Yazida kecil tertangkap mata tidak ingin masuk sekolah, sedang menangis hebat di rumah, atau mengatakan terang-terangan di depan ayahnya, "Yah, gimana kalo aku pindah sekolah? Boleh kan, aku pindah sekolah?"



#30DWCJilid6 #Day1
#KeepWriting #Day37

Komentar