Maaf Bu Rektor, Saya Sok Tahu

Anya menghempaskan dirinya di kursi ruang tempat mata kuliah kedua kami hari ini akan diajarkan. Napasnya naik-turun tak teratur. Kakinya lurus, berusaha keras untuk rileks.

"Habis dari mana, Nya?" Aku membuka percakapan setelah menyadari ketidakhadiran Anya pada mata kuliah pertama kami, pagi tadi.

Anya masih ngos-ngosan, ia menelan ludah singkat kemudian menjawab, "Balairung."

"KAMU DEMO?!" Oktaf suaraku meninggi dengan volume yang refleks membesar. Jarak antara aku dan perempuan mungil mirip Acha Sepriasa versi berkaca mata ini hanya selisih satu bangku. Tapi berani taruhan: manusia dalam radius tiga meter dari sumber suara, pasti mendengar.

"Enggak laaah," Anya terkekeh. "Habis nyanyi buat Upacara Hari Pendidikan Nasional. Waktu mau balik kesini, jalanan udah diblok. Kejebak deh..."

Aku mengangguk-ngangguk kecil.



Memang, publikasi mengenai aksi hari ini sudah ramai dimana-mana dengan berbagai tagar kreatif ala mahasiswa seperti #bUKTicinta, #RevolusiPendidikan, #HeningCiptauntukPendidikan, #MenolakLupa, #MenagihJanjiRektor, dan lain sebagainya. Ajakan untuk bergabung dan berbagai opini publik pun bermunculan melalui social media.

Akibatnya? Gelombang mahasiswa hingga staf kependidikan membanjiri Balairung, Gedung Pusat UGM, hari ini.

Memang, dibandingkan aksi demo besar-besaran tahun lalu (saat secuil mahasiswa yang hari ini ikut turun dalam aksi bahkan belum bisa dibilang lulus SMA dan diterima di "Kampus Kerakyatan" ini, sepertiku), skala aksi tahun ini memang masih kalah. Namun bagaimanapun juga, definisi "masih kalah" jika dihadapkan dengan fakta bahwa setidaknya sembilan ribu mahasiswa baru diterima setiap tahunnya di tempat ini, dari segi jumlah, definisi masih kalah itu sesedikit apa sih?

Tetap saja menyentuh angka ribuan, tentu.

"YUK, KITA KE BALAIRUNG, YUK," terdengar suara dari pengeras suara yang semakin mendekat.

Aku, Adel, dan Ica, ketiganya memalingkan pandangan dari menu santap siang kami di sebuah kantin bernama Bonbin (akronim dari Kebon Bintang, bukan "Kebon Binatang" seperti yang Ibu Rektor kami kira saat memberikan keterangan pers tahun lalu), yang tahun lalu tetap menjadi korban relokasi (bahasa kasarnya: korban gusur) meskipun telah dicantumkan dalam tuntutan mahasiswa untuk tetap dipertahankan di tempatnya semula.

Sekarang setelah menjadi mahasiswa, aku akhirnya mengerti mengapa Kantin Bonbin memang idola: (1)kapan lagi nasi rames enak bisa didapat dengan harga goceng (Rp5000,00)? (2)salad buah legendaris dengan keju segunung cuma Rp6000,00 (3)mix jus segar buah a, b, c, d seharga Rp5000.

Anak kos mana yang tidak ngiler.

Walaupun Kantin Bonbin sudah sukses ditendang rektorat dari komplek Soshum (Sosio-Humaniora) dan dipindahkan ke sekitar area parkir mahasiswa (beberapa ratus meter dari fakultasku), toh nyatanya aku tidak pernah kapok menyantap rames atau sekedar membeli salad buah di sana meski harus berjalan kaki diterpa matahari selama beberapa menit.

"YUK, JAM SATU KITA RAMAIKAN BALAIRUNG," suara itu terdengar lagi. Kini sumber suara sudah mulai terlihat. Sebuah mobil bak terbuka berwarna hitam dengan sebuah pengeras suara besar dan beberapa mahasiswa beralmamater warna karung goni di atasnya. "YUK, IKUTAN, YUK!"

Beberapa kepala lain dari arah kantin juga melongok ke luar. Sumber suara terus mengeluarkan kalimat-kalimat ajakan senada dan mulai menyanyikan lagu penyemangat yang belum pernah kudengar sebelumnya.

Aku kembali berpaling kepada rames lezatku. Begitu juga Adel dan Ica yang bahkan sudah hampir selesai makan.

"Demo gitu percuma nggak sih?" Ica bersuara. "Kita rame-rame ke Balairung, nuntut Rektor nepatin janji-janji yang belum dipenuhin... nggak bakal terlalu berdampak. Akhir bulan juga udah ganti Rektor Baru."

Aku menelan makananku, menanggapi, "Menurutku, kita kesana bukan cuma mau nuntut pemenuhan sih, Ca. Ya agak realistis sih, dalam waktu kurang dari sebulan, pasti ada yang tetep aja susah buat dipenuhin.

"At least denger penjelasan gitu lah, dari Bu Rektor. Kenapa janjinya belum Beliau tepati sendiri?" Aku menutup statement sok tahuku dan kembali asyik dengan santap siang setelah berucap, "Nah sekarang Bu Rektor kita dimana? Di Arab, kan, bukan di Balairung buat kasih penjelasan atau mendengar aspirasi akademisinya?"

Mengenai keberadaan Beliau, aku hanya mendadak teringat kabar singkat yang kubaca beberapa saat sebelum makan siang.



Tahun lalu, 2 Mei 2016
Sumber: Google

Tahun lalu, 2 Mei 2016
Sumber: Google





-Hari ini, 2 Mei 2017-
Sumber: LINE, manapun, siapapun








#30DWCJilid5 #Day22

Komentar