Sebatas Jalan Sosio-Humaniora
Aku melambaikan tangan.
Laki-laki berjaket cokelat yang sebelah tangannya sedang berkutat dengan ponsel pintar itupun menurunkan masker di wajahnya dan melambaikan sebelah tangannya yang lain kepadaku.
"Hei!" Aku menjabat tangannya saat kami sudah berdiri sejajar, ia balik menjabat tanganku. "Gimana kabar? Gila ya, tujuh atau delapan tahun!"
Dia nyengir lebar, "Tambah tinggi kamu, Yaz."
"Iyalah," aku menyombong, "Paskib lho ini..."
Kami berdua tertawa dan mulai menelusuri Jalan Sosio-Humaniora. Aku menggeleng-gelengkan kepala, masih tak percaya. Waktu benar-benar telah merubah hal-hal menjadi kian tak terduga. Seperti laki-laki berjaket cokelat ini, yang faktanya, bahkan lebih tinggi dariku beberapa cm.
"Kita ke Bonbin, kan?" Aku bertanya, memastikan. Ketika baik aku maupun dia berhenti selepas Jalan Sosio-Humaniora berlalu, kami sama-sama melirik ke kanan-kiri hendak menyebrang.
"Kamu nggak apa-apa, Yaz, kuliahnya?" Dia malah balik bertanya. Mungkin ingat chat singkatku sebelumnya bahwa setengah jam lagi kelasku akan dimulai.
"Nggak pa-pa," kepalaku manggut-manggut dengan tangan ke depan naik-turun, "absensiku masih oke, kok..."
Kami sukses menyebrang dan sudah melangkah memasuki salah satu tempat makan favorit para mahasiswa... terkhusus, para penghuni cluster Sosio-Humaniora. Kantin Bonbin!
Otakku berfikir keras mau makan apa karena baru dua jam yang lalu aku meninggalkan tempat ini dengan perut kenyang. Ketika kutanyakan pada laki-laki di sebelahku yang baru saja menemukan tempat untuk kami duduk, ia pun menjawab, "Entahlah, buah-buah sepertiya..."
Persis seperti yang sedang kufikirkan.
Akhirnya dia pun memesan para bebuahan, seperti yang dikatakannya tadi (entah salad buah atau sup buah karena wujud keduanya hampir sama) dan aku memesan jus melon (setelah jus wortel dan jus strawberry ternyata sudah habis persediaannya). Dia kembali duduk di hadapanku sembari menunggu pesanan kami datang.
"So, gimana?" Dia memulai. Sedikit membuka tangannya dan mengangkat keduanya beberapa cm ke atas. "Ngapain aja selama ini?"
Aku tertawa kecil, mengendikan bahu dan lagi-lagi balik bertanya, "Yang mana, nih? Mana yang kamu tanyain?"
Tujuh, delapan tahun... memang bukan waktu yang sebentar.
Solo, Purwokerto, dan kini Jogja... memang bukan jarak yang dekat.
Begitu banyak hal terjadi setiap detiknya, setiap menit, setiap jam, setiap hari, dan entah perlu dikali berapa untuk tahu sejauh apa tujuh atau delapan tahun itu. Bahkan ketika melangkah, dari langkah satu ke langkah selanjutnya, pasti ada saja sesuatu yang terjadi... baik disadari maupun tidak.
Seperti angin yang berbelok berganti arah, berhentinya kicauan burung di pucuk pohon di belakang kami, hingga rumput bergoyang damai yang menempel di sepatu kami ketika mengambil sebuah langkah baru ke depan.
Kini mungkin waktu kami hanya berjarak kehidupan kuliah dan pribadi masing-masing, kini mungkin jarak kami hanya dibatasi Jalan Sosio-Humaniora.
Tapi dulu? Tujuh, delapan tahun ini? Solo, Purwokerto, dan Jogja ini?
Jadi wajar bila pertanyaan kami lebih banyak dijawab dengan pertanyaan lain. Jadi wajar bila cerita kami mengalir begitu panjang dan banyak diakhiri dengan kata wah dari yang sedang menjadi pendengar. Jadi wajar bila kami perlu lebih banyak waktu untuk menyadari dan memahami berbagai perubahan yang telah terjadi pada masing-masing...
... dan wajar bila beberapa saat kemudian, ketika dia lagi-lagi bertanya, "Kamu beneran nggak apa-apa, Yaz, kuliahnya telat?"
Dengan alis bertaut, aku balik bertanya, "Emang sekarang jam berapa?"
"Jam dua, weh."
Lalu kami sama-sama terkejut sambil menggumamkan wow panjang. Satu jam lebih telah berlalu tanpa kami sadari.
Kami nyengir kuda.
"Ada kegiatan lain, po?" Aku bertanya, sambil mengambil ponsel yang sedari tadi –tumben dapat– kuabaikan begitu saja di dalam tas. Sepakat dengannya bahwa sekarang sudah pukul dua siang lewat sebelas menit.
"Biasa, jadi humas," dia mengalihkan pandangan sejenak dari ponsel yang juga baru saja ia pegang lagi. "Seneng aja gitu kenalan sama orang banyak di luar sana..."
Aku tertawa kecil, "Yup, emang menyenangkan!"
Kami beranjak dari kursi, mendekati etalase penjual yang menawarkan beraneka olahan buah di dekat kami. Dia menyerahkan uang kami setelah penjual tersebut menyebutkan sejumlah angka.
"Kamu masuk kelas?" Dia bertanya sambil mulai melangkah keluar dari area Bonbin.
"Mmm," aku memutar mata sambil menyesuaikan langkah di sampingnya. "Kayaknya aku fix pulang. Dosennya agak nyeremin, hahahah..."
Setelah saling menjabat dan melambaikan tangan seperti tadi saat kami bertemu, akhirnya kami toh harus berpisah juga.
"Thankyou, ya!"
"Thankyou juga!"
Sebatas Jalan Sosio-Humaniora.
Aku memandangi punggung berjaket cokelat, teman sekolahku saat beranjak dari usia satu angka ke usia berakhiran belas, yang berangsur menjauh.
#30DWCJilid5 #Day29
Komentar
Posting Komentar