Seharusnya Kisah Horror
Nggak tau kenapa, pantangan terbesar saya dalam menulis adalah keramaian.
Malam ini saya duduk di pojok ruangan, mengamati teman-teman saya yang tertawa keras dalam lingkaran-lingkaran kecil. Mau bergabung tapi nggak paham. Nggak tau juga, mungkin selera humor saya sedang ditarik sebentar dari dunia nyata dan dipaksa terjun ke dunia tulisan karena ingat kalau belum setor.
Ini adalah tulisan hasil kebingungan saya memilih topik.
Mau bikin penggalan cerita fiksi? Mentok.
Non fiksi? Ini mungkin salah satu bibitnya kali ya...
Fix. Saya plonga-plongo memutar otak dengan keras tanpa sedikit pun berhasil menghidupkan mesin kreativitas saya. Berpindah-pindah posisi duduk dari mulai normal, selonjoran di dua kursi yang digabung, merosot hingga kepala saya ditahan punggung kursi, hingga menekuk dan menaikan kaki ke kursi sudah saya lakukan. Namun nihil hasil.
Tak berselang lama, salah satu teman baru saya, Mogu, datang dan sukses membuka sebuah topik pembicaraan yang bisa membuat saya merasa... sepaham.
Tak berselang lama, salah satu teman baru saya, Mogu, datang dan sukses membuka sebuah topik pembicaraan yang bisa membuat saya merasa... sepaham.
Awal-awal dia menceritakan cerita klasik berbau horror luar negeri yang sesekali dia cross check via Google. Di meja pojok ruangan ini hanya ada saya, Mogu, dan Bagus yang sedang pusing mengurus tugas kuliahnya.
Perlahan satu per satu teman kami yang lain mulai bergabung.
Topik horror impor pun mulai menyenggol kisah horror lokal, khas Tanah Air. Itupun berani kami bahas dengan syarat: bukan kisah dari Pulau Jawa.
Karena kami sedang berada di Pulau Jawa. Kalau beneran "datang"... kan repot.
Entah bagaimana topik horror bisa mendatangkan banyak tawa bagi kerumunan kami yang semakin ramai ini. Sudah terkontaminasi dengan imajinasi laknat masing-masing yang menghancurkan esensi cerita seharusnya. Dicampuradukkan dengan berbagai genre lain, mayoritas komedi.
Tawa kami semakin keras saat cerita horror ini kian melenceng kesana-kemari.
Tapi overall, situasi ini setengah membantah pernyataan saya bahwa saya tidak bisa menulis di tengah keramaian.
Setengah yang lain? Mutlak membuktikan bahwa tulisan saya jauh lebih niat dan berbobot dan lebih bikin saya puas, saat ditulis dalam suasana yang saya suka.
So, bagaimana?
Horror kan, cerita Writer's Block seorang Yazida?
So, bagaimana?
Horror kan, cerita Writer's Block seorang Yazida?
#30DWCJilid6 #Day3
#KeepWriting #Day39
Komentar
Posting Komentar