Perasa
Baperan. Drama. Labil. Gampang marah. Sensitif.
Kelima kata di atas keluar saat saya meminta opini teman-teman saya mengenai apa minusnya seorang Yazida, untuk keperluan membuat deskripsi diri a.k.a. autobiografi singkat sebagai salah satu tugas mata kuliah wajib yang saya ambil. Teori-Teori Kepribadian.
Bagaimana rasanya setelah disodorkan berbagai kata berbau sama tersebut? Biasa aja.
Tumben kan... Uhuy!
Bu Inge, Dosen Pengampu mata kuliah tersebut sudah lebih dulu mewanti-wanti para mahasiswanya sebelum tugas ini beliau berikan. Beliau berpesan, "Bersikap terbuka memang sulit. Tapi itulah, sampai kapan kita mau menutup diri terus?"
Intinya: menggelikan ya menggelikan, menyedihkan ya menyedihkan, menyakitkan ya menyakitkan.
Apa yang pernah terjadi dengan diri kita, ya itulah yang terjadi.
So, yeah, kelima kata di atas sudah mendapat pengakuan dan pembenaran dari si empu yang meminta opini tadi: saya.
Pantas saja beberapa hari yang lalu ketika episode terbaru Asia's Next Top Model 5 sudah muncul di YouTube, saya sudah selow hidup berbahagia bebas tugas, dan akhirnya memutuskan untuk menontonnya sambil duduk santai di ruang tengah kos sweet kos, it goes really really really wrong...
... saya malah nangis di tengah seliweran orang tua kakak-kakak kos saya yang sedang mengunjungi anak-anak mereka.
Siapa yang menyangka, spoiler salah satu teman saya mengenai siapa yang tereliminasi minggu ini ternyata benar (ya iyalah, masa hoax, Yaz -_-). Saya, yang berada di usia ujung belasan tahun ini, nangis nonton acara pencarian model?
You gotta be kidding me.
Tapi... setelah saya cross check lagi dengan berbagai memori yang tersimpan di otak... semuanya tampak sinkron.
Banyak tayangan layar kaca yang sukses bikin saya nangis. Dari mulai acara seseorang yang menyamar menyedihkan dan meminta tolong kepada orang lain, di mana siapapun yang menjadi penolong nantinya akan diberi hadiah oleh pihak penyelenggara, hingga acara produk impor berisikan membangun rumah dan membagi-bagikannya secara gratis bagi para kontestan.
Berkaitan dengan hobi saya, nonton film, memang sih. Bisa dibilang bahwa nggak sedikit juga film yang sudah sukses bikin saya nangis.
The best memory I have? Probably coming from the moment I was still a little.
I wasn't even three years when my mom bought me a CD and played it in our tiny living room in Solobaru. I was all alone, hadn't had any siblings yet. She left a little me watching one of Disney's Cartoon Masterpiece, Dumbo (1941).
No ability to understand the language that I often use nowadays, no ability to read the subtitles that running like a flash, even having ability to identify any alphabets going on earth at that time.
So, tell me, how can a-not-even-three-years-old-me (sized as small as the kid on the picture above) burst into tears by watching it?
Nah, itu.
Mungkin dari kecil saya sudah punya bakat sensitif mengenai perasaan. Seiring berjalannya waktu, bakat tersebut terasah. Jadilah sekarang kepekaan saya punya cabang ke arah mana-mana. Termasuk lima kata di atas.
Oooh iya! Soal pengalaman masa kecil saya mengenai film yang baru saja saya ceritakan, saya juga nggak ngerti kenapa infantile amnesia nggak berlaku pada hal tersebut.
Tapi seriusan deh, coba tonton video Dumbo di bawah ini, imagine that you're a three years old child (like me, at that time), and tell me what do you think about it...
... what do you feel about it.
#30DWCJilid6 #Day6
#KeepWriting #Day42
Komentar
Posting Komentar