Terik

"Panas banget, Ya Allah, hari ini..."

Aku duduk di kursi penumpang di samping kursi pengemudi dan langsung membalikkan punggung tanganku agar tak semakin terbakar panas menyengat. Tadi sebelum memasuki mobil yang terparkir satu meter jauhnya dari pintu masuk sebuah toko alat musik ini, aku harus menyipitkan mata selama beberapa detik, diterpa matahari.

Ayah menyalakan mesin mobil dan menghidupkan AC sembari menurunkan keempat jendela mobil di kanan-kiri sejauh tiga cm.

Kami masih harus menjemput adik kecilku, Danish. Memutar arah dan kembali menerjang sengat surya. Bahkan tusukannya masuk menembus kaca seperti hantu. Aku menurunkan sun visor dan tetap saja masih menyipit. Panas sekali Jumat ini.



"Panas banget nggak sih, Yaz?"

"Iya, banget," aku duduk di sebuah bangku kayu sambil menungu tempat nongkrong remaja bermenu milkshake beraneka rasa ini buka, "udah kerasa dari tadi."

Aku dan temanku semasa SMA langsung larut begitu saja dalam obrolan. Menyeruput minuman ungu berjudul Taro dengan topping oreo-ku, membahas ini-itu di kampus masing-masing, juga tak luput beberapa memori semasa SMA dulu.

"Kamu kalo lagi pulang masih suka nengokin paskib?" Tanyaku setelah mengaduk-ngaduk minumanku.

Dia mengiyakan dengan bersemangat.

"Nengokin yuk! Nonton latihan!" Aku menimpali dengan bersemangat setelah mengonfirmasi bahwa latihan masih diadakan di sebuah lapangan tak jauh dari SMA kami. "H-2 lomba! Hiksss, sayang besok aku nggak bisa ikut nonton..."

Setelah sepakat mengenai destinasi kami selanjutnya, kami pun meluncur.



Ilalang setinggi betis menyambut kami saat memarkirkan kendaraan. Sapaan dan jabat tangan dari adik-adik kami yang masih berbalut seragam Pramuka khas hari Jumat menyusul setelahnya.

Aku duduk di pinggiran bangunan terbuka di pinggir lapangan. Di hadapan kami, mereka berlatih. Menghafalkan sekian banyak gerakan yang harus dilakukan dengan serempak dan penuh dengan koordinasi. Beberapa kali mereka mengambil sikap porsi, push up bersama, karena ada satu atau dua orang yang terlambat atau miss dalam beberapa gerakan.

"Eh, dulu inget nggak sih, kita pernah gitu juga?" Aku menoleh, nyengir dan sedikit terkikik. "Bulan puasa, ditahan pula! Nggak turun-turun push up-nya, naik terus. Sampe tangannya pada melepuh, parah, hahahah..."

Dia ikut tertawa, "Iyalah, inget banget! Panas banget waktu itu!"



Panas. Banget.

Dua kata yang sejak siang keluar masuk di telingaku. Bahkan turut kuucapkan juga.



Aku menatap adik-adikku yang memerah dan menggelap kulitnya, seperti aku, dulu saat zamanku ditempa tiba. Disengat panas, bermandikan keringat, bau.

Tapi itulah perjuangan. Itu resiko. Itu komitmen.

Itulah yang memang akan kita lakukan saat sudah memutuskan untuk menceburkankan diri ke dalam lautan bernama Paskibra Smansa.

Bukan untuk segera mentas dan berbahagia karena pernah sekedar mencebur. Bukan untuk berdiam dan tenggelam di dalamnya, hilang. Bukan untuk mengapung santai tak bertujuan.

Ya begitulah kehidupan seorang Paskibra, Dik.

Berenang, ditempa, dibuat lelah secara fisik, dibuat terus melihat bahwa di depan sana ada daratan bernama tujuan. Tak peduli mata harus menyipit terkena pantulan surya di lautan, tak peduli pigmen-pigmen menjerit kepanasan, tak peduli semakin tingginya kadar garam bercampur keringat yang kita arungi sekarang...

... karena terik sudah menjadi teman kita.




Semangat sukses, adik-adikku!






Dari Kakakmu,
2nd Person in Paskibra Smansa XXIII.



#Day32 #KeepWriting

Komentar