Lelah
Aku merebahkan diri di sofa ruang tengah. Membiarkan ransel cokelat berat yang sedari tadi kugendong tergolek begitu saja di lantai. Sebelah kakiku naik hingga ke lengan sofa kiri, sejajar dengan lengan sofa tempat kepalaku kutambatkan.
Sebelahnya lagi? Tak perlu repot-repot kunaikkan. Tergantung lemas begitu saja dengan ujung menyentuh lantai.
Aku memejamkan mata. Lampu putih ruangan ini begitu menyilaukan, mataku perih dibuatnya. Tangan kiriku kuletakkan menutupi indera penglihatanku dan mulai mengatur nafas. Pelan dan lambat. Menormalkan degup jantungku.
Hari sudah gelap saat kujajaki malam dari tempatku berkegiatan, lurus menembus dingin hingga tempat persinggahan. Tubuhku lengket dan bau. Rambutku yang sempat dibanjiri keringat, untuk kesekian kalinya dalam hari ini, sudah kembali kering terpapar angin yang bersliweran. Atau dikeringkan panas mentari, bisa saja.
Dengan sejumput kekuatan yang masih tersisa, tangan kiriku meraba sebelah kakiku yang teronggok lemas di lantai, menarik lepas kaus kaki garis-garis hitam putih sebetis, dan melemparnya ke arah pintu.
Telepon rumah berbunyi singkat sebelum terdengar bunyi bip pendek dan sebuah suara familiar yang berkoar tanpa jeda, "Hei, Lenny, ini Dianne. Aku tahu ini sudah malam, maaf. Tapi kau tahu mengenai rapat besok pagi dengan Senator? Umm, kuharap kau tidak terlambat. Pukul tujuh pagi sudah di ruangan, oke? Bye, Lenn!"
Aku mencabut paksa sebelah kaus kaki yang masih kukenakan dan melemparnya ke arah telepon yang tergantung di sebelah pintu. Mengerang sebal dan memutar tubuhku ke samping, berusaha tidak peduli.
Aku menguap, kedua mata berairku kian enggan saja dibuka. Nafasku melambat. Dan yang benar-benar kuinginkan dan kubutuhkan untuk mengusir lelahku kini? Hanya tidur. Itu saja.
#30DWCJilid6 #Day10
#KeepWriting #Day46
Komentar
Posting Komentar