Romansa Sebuah Angkringan

"Pak, pisang owol dua porsi, ya!"

Aku melongo. Belum pernah kudengar nama itu sama sekali, seumur hidup!

Seorang pelayan pria berpolo merah menyala dengan sigap mengipas-ngipas pemanggang tradisional, lengkap dengan arang membara merah dan abu kecil yang terbang ditiupnya. Tak sampai lima menit setelahnya, dua piring makanan dengan garpu kecil telah tersaji di hadapan kami.


"Kev... Keval?"

"Ya?"

"Kok tumben?" Aku mulai menyantap apa yang tadi disebut Keval sebagai pisang owol. Bentuk awalnya seperti pisang goreng, kurasa. Namun dipanaskan dengan cara dipanggang sebelum tertutup lapisan susu kental manis rasa cokelat dan taburan meses plus keju berlimpah. Mmmm, enak juga! "Tumben ajak aku keluar jam segini... likefor having midnight snacks? In a new place like this I mean."

Sayup suara kendaraan terdengar dari balik terpal angkringan guyub yang kami singgahi ini. Hawa sedikit sejuk diterpa hujan setengah jam yang lalu. Lampu putih terang dipasang sebagai penerangan apik tiga meja memanjang. Mengapit di dua sisinya, beberapa bangku tanpa sandaran yang dipenuhi spesimen orang kelaparan.

Lelaki berlesung pipit di pipi kanan itu menelan sepotong kecil pisang owol di garpunya, lalu mengendikkan bahu, "Pengen aja. Lagian kasian, anak kos yang satu ini nggak pernah kemana-mana."

Ia terkekeh meledek, bibirku sudah maju dua centi.

Memang, kedatanganku di Kota Liwet sebagai mahasiswa baru belum genap satu semester lamanya. Aku lebih banyak berdiam di kos, berkutat dengan pelajaran dan tugas-tugas. Kos ke kampus, kampus ke kos. Paling jauh ke Perpustakaan Kota di daerah Jebres.

Itu semua masih dominan, bahkan setelah aku bersama Keval seperti sekarang.

Keval melanjutkan sambil melirik piring plastik kecil tempat pisang owol-ku seharusnya berada, namun sudah menghilang secara ajaib sedetik yang lalu, "Pasti laper juga kan? Tambah gih!"

Aku menunduk dengan pipi memerah, kemudian buru-buru menatap lurus sambil menggeleng cepat mengusir malu. Keval lagi-lagi tertawa.

"Cobain aja, macem-macem tuh satenya," ia menaik-turunkan alis, menunjuk ke arah piring-piring beraneka isi di hadapan kami. "Telur puyuh, usus, kerang, keong, EH"

Nadanya meninggi saat melihatku sudah mencomot salah satu sate dan menggigit ujungnya. Aku membeku dengan gigi menempel pada benda persegi panjang tipis yang meskipun menggoda, tak kuketahui namanya ini.

"Itu sate kere."

Aku masih terdiam di posisiku, mendelik meminta penjelasan.

"Tempe gembus, dari ampas tahu. Makan aja." Keval berkata santai tak berdosa, seolah eh yang diucapkannya tadi tak membuatku ketakutan setengah mati saat hendak menggigit dan mengunyah halus apa yang disebutnya dengan sate kere ini.

Tiga kata: rasanya mirip daging.

"Jadi," Keval menumpuk piring kami yang sudah sama-sama kosong dan mengambil satu tusuk sate kere, "jaman dulu, pribumi nggak kuat gitu beli daging. Nggak mampu, kere. Terus mereka bikin lah semacam pengganti daging. Ya ini dia..."

Aku menggumam oh pelan sembari lanjut menghabiskan tusuk sate keduaku. 

Tersenyum dengan kedua pipi memerah, aku menoleh ke kanan. "Kev?"

"Mmm hmm?" Matanya yang sedari tak lepas memandangiku sosok perempuan rakus di sebelah kirinya, kini bertemu pandang denganku.

"Terima kasih." Dapat kulihat lesung pipitnya kembali muncul. Aku melanjutkan dengan mata berkaca, "Atas segala usahamu bikin aku nyaman dan nggak sendirian di Tanah Rantau."




#30DWCJilid6 #Day25
#KeepWriting #Day61

Komentar