Langkah Pertama


Kaki kecilnya melangkah perlahan, menjejaki nampan demi nampan. Wajah dengan senyuman mempesona itu tak henti membelalakkan kedua bola mata abu-abu bulat yang sesekali tertutupi blangkon di kepalanya yang merosot kebesaran.

Tubuh gempal di balik baju lurik garis-garis cokelat yang dijahit dengan ukuran pas badan, seminggu sebelum hari ini, menari kecil menyeimbangkan gerak maju kedua kaki berbalut celana cokelat tua panjang yang juga sesuai dengan ukurannya.

Meskipun sudah dipapah oleh Mas James, seorang lelaki berkewarganegaraan Amerika yang menikahi Mbak Sarah dua tahun lalu, Albert kecil tetap sesekali melangkah nyaris keluar dari jalurnya. Tujuh buah nampan berisi jadah tujuh warna, disusun dari warna hitam hingga putih.

Kami hanya tertawa.

"Ayo Bert, sithik meneh!" Ibu menepuk-nepukkan telapak tangannya beberapa kali dari ujung jalur jalan cucunya.

Aku memegang bahu Ibu yang berbalut kebaya merah muda seperti yang kukenakan. Tersenyum, kagum atas semangatnya.

"Saras, mbok Mbakyu-mu dibantu tata-tata makanan," Ibu menoleh ke arahku sambil menunjuk ke arah seorang wanita tinggi semampai yang sedang sibuk merapikan meja tumpeng. "Mosok Mas Bule-mu dhewekan to?"

Aku nyengir. Camera mirrorless yang terkalung di leherku tak cukup genius menjadi alasan untuk menutupi rasa gemasku sedari tadi. Berdiri mempertahankan posisi strategis untuk mengusir rasa penasaran melihat kakak ipar Bule-ku mengenakan beskap hitam, lengkap dengan blangkon senada dengan yang dikenakan oleh versi mini dirinya, yang masih berusaha melangkah melewati nampan kelimanya.

Aku menarik sedikit ujung jarik cokelat yang membalut rapat kakiku agar lebih mudah melangkah lebar mendekati Mbak Sarah. Mencolek-colekkan jariku ke sebelah bahunya hingga wajah cantiknya menoleh ke arahku, kemudian berkata, "Biar aku aja, Mbak."

Mbak Sarah mengangguk anggun berbisik terima kasih singkat, lalu berjalan menuju bayi lucunya.

Tedak Siten merupakan budaya warisan leluhur Jawa untuk anak berusia tujuh atau delapan bulan, yang juga dikenal sebagai upacara turun tanah. Berisi serangkaian tradisi dan doa-doa saat anak belajar melangkah untuk pertama kalinya.

Albert menjejak melalui tujuh buah nampan. Jadah sebagai simbol kehidupan bagi si kecil, diwarnai dengan tujuh warna sebagai penggambaran berbagai hal yang akan dilewatinya nanti. Disusunnya jadah tersebut dari warna hitam ke putih bermakna harapan bahwa setiap masalah yang ada, kelak akan menemukan titik terangnya.

Sembari aku menata piring-piring beralaskan daun pisang dan larut dalam pemikiran mengenai Tedak Siten yang tadi kubaca dari buku panduan adat yang dipegang Ibu, kusadari sebelah kiri jarikku tertarik-tarik kecil. Aku menoleh dan mendapati seorang bayi perempuan duduk tak jauh dari kakiku.

"Eh, halo," susah payah, aku berjongkok setelah meletakkan camera-ku di meja. Mengelus pelan pipi lembut, lalu menggendongnya saat bayi berbandana kain tanpa rambut itu mengulurkan kedua tangan mungilnya. "Mama di mana, Sayang?"

"Wah, Yuri udah ketemu Tante Saras duluan, ternyata..."

Sebuah suara mengalihkan pandanganku segera. Aku melongo. Sahabat Mbak Sarah semasa SMA yang sudah kukenal dekat, berjalan menggandeng seorang pria berbadan tegap. "Mb... Mbak Ayu?"

Ia terkekeh sambil menggelitik pelan perut anak cantiknya dalam gendonganku, membuat keduanya tertawa ringan. Mbak Ayu menoleh kembali ke arahku, melontarkan pertanyaan yang dihindari seluruh jomblo pejuang skripsi di muka bumi ini.

"Ras, kapan nyusul?"



#30DWCJilid6 #Day29
#KeepWriting #Day66

Komentar