Catatan Mudik Seorang Perantau

Bunyi teratur suara mesin kereta api yang terdengar pagi ini nyatanya terdengar seperti nina bobo yang memberatkan kelopak mata. Beberapa kali aku menguap, kepalaku nyaris menunduk tertidur di kursi merah panjang ruang tunggu Stasiun Tugu, Yogyakarta.



Aku mengantuk.

Kegiatanku tiga hari kemarin di perantauan cukup memakan energi. Setelah selesai bekerja, aku pamit di tengah evaluasi acara. Persis ketika divisiku rampung memaparkan evaluasinya.

Menaiki motor dengan banyak barang bawaan di tengah kegelapan tanpa lampu jalanan di kiri-kanan seperti kemarin malam, mutlak membuat indra penglihatanku harus kutajamkan. Tak dapat kupungkiri, aku cukup takut.

Berkali-kali sepanjang perjalanan, kuajak teman yang duduk di jok belakang motorku untuk berbincang. Topik ringan basa-basi seputar kegiatan kepanitiaan kami tiga hari terakhir, IP semester ini yang belum muncul di website, juga alur masuk universitas kami melalui jalur yang masih awam untukku.

Cukup lama perjalanan kami. Faktor jarak tempuh dan kegelapan yang menyelimuti, tentu berpengaruh.

Meski begitu, motor yang kukemudikan harus tetap tiba sesegera mungkin. Berpacu antara waktu dan janji menonton film tentang seorang pahlawan wanita yang sudah kubuat dengan seorang teman, persis malam itu juga.

Dua atau tiga kali sepanjang jalannya film, fikiranku tak fokus. Membuat mataku terpejam singkat selama beberapa detik, sebelum akhirnya kutemukan kembali fokus dan kesadaranku.

Mungkin semacam kode bahwa niat awalku kembali ke perantauan di sela-sela mudik yang sebenarnya sudah kulakoni, sudah tercapai. Menyelesaikan dengan professional tanggung jawabku sebagai panitia event.

Kegiatan ekstra seperti nonton film? Bonus. Hiburan sekaligus pertanda bahwa liburan sesungguhnya memang sudah dimulai.



Pagi ini aku duduk di kursi dalam gerbong yang tertera dalam tiket oranyeku. Keretaku baru saja tiba.

Aku merapatkan jaket abu-abu yang kupinjam dari adik perempuanku sebelum menyelesaikan kewajibanku di tengah mudik kemarin. Menyampirkan bantal merah putih dengan logo merah bergaris tepi kuning khas sebuah klub sepak bola asal sebuah negara nan jauh di sana, di sekitar leherku. Bersandar sambil memanjangkan kaki.

Memandangi pelataran ruang tunggu yang mengintip dari sela jendela bertirai di sebelah kiriku, maka iya. Kuucapkan sampai bertemu kembali pada tanah perantauan tempat dua semester pertamaku mengenyam pendidikan dengan empat huruf tambahan di belakang status pekerjaan yang sebelumnya telah kugunakan selama dua belas tahun lamanya... maha.



Yazida.
Yogyakarta, 19 Juni 2017
07.17 WIB

#KeepWriting #Day71

Komentar