Pasar Malam

“Ayo dong, Vonne!” Aku menggenggam tangan mungil gadis berponi lurus yang rambut belakangnya dijepit badai warna hitam. “Laper lagi? Mau ke toilet lagi? Aduh, please, udah semua wahana, kurang satu doang! Masa kita pulang?”

Yvonne tetap kukuh, menggeleng-gelengkan kepala hingga poninya bergoyang. Tak sedikit pun jeans putih selutut dan kaos hitam lengan panjang bermotif tengkorak kecil-kecil yang dikenakannya beranjak dari bangku kayu putih, tempatnya duduk dan bersandar sejak sepuluh menit yang lalu.

Aku menghembuskan nafas panjang dan kembali duduk di sampingnya. Sedikit merenggang genggaman tanganku. Kelap-kelip lampu di setiap simetri lipat Bianglala, riang nyanyian Komedi Putar, riuh teriakan di kapal Kora-kora, dan cetar warna gulali besar di stan kecil seberang kami nyatanya kini tak kembali sukses merekahkan senyuman Yvonne yang sedari tadi sempat memancar.


Intinya satu: kalau nama wahana yang satu ini disebut, suasana hati Yvonne akan langsung jungkir balik drastis.

Rumah Hantu?

Yvonne melepas setengah membanting tanganku dan langsung menyingkir sejauh mungkin hingga ujung bangku, memunggungiku. Sekarang sudah percaya, kan, bahwa dua kata yang kuucapkan tadi bisa membawa dampak sedemikian dahsyat?

Padahal hanya wahana permainan belaka.

“Kenapa, sih?” Aku mendekat, melembutkan nada bicaraku sambil berusaha meraih tangannya yang berulang kali mengibas lepas tanganku. “Tenang, Yvonne. Kan ada aku...”

Gadis itu menoleh cepat. Mendelik menyeramkan efek eyeliner hitam yang dikenakannya. Bibir tipis berlapis lipstick warna ungu tua bergerak cepat setengah membentak, “Aku nggak mau, Ardi!”

Beberapa orang yang berseliweran di dekat kami menoleh, aku cepat-cepat meletakkan jariku di bibir dan berulang kali menaik-turunkan telapak tanganku sejajar dada, mengisyaratkannya untuk tenang. Yvonne tak peduli. “Maunya pulang aja! Ayo!”

Ia spontan berdiri, kuikuti dengan panik sambil menahan pergelangan tangannya.

Astaga. Dalam hati aku membatin: cemen. Pasti alasan sebenarnya adalah... karena dia takut.

“Vonne, tadi udah ditemenin naik Gajah Bledug, lho,” aku menarik turun kedua sudut bibirku, sedikit memajukan bagian bawahnya, tak lupa kedip-kedip di kedua mata ala kelilipan kerikil. “Sekarang temenin masuk Rumah Hantu, please...”

“Ar,” Yvonne memutar tubuhnya, pandangannya sudah melunak meski sebuah raut lain justru tergambar di wajahnya... cemas? Perlahan kedua tangannya mencengkram erat ujung jaketku. Suara lirihnya mulai terdengar, “Kamu nggak lupa, kan, kalau aku“ ia mendekatkan bibirnya ke telingaku, “bisa melihat mereka?

Teng. Aku terdiam. Sungguh, kalau itu aku benar-benar tidak ingat.

“Di depan pintu masuk wahana itu ada perempuan, cantik sih,” ia melanjutkan pelan. Suaranya bergetar dan sorot matanya setengah tak lepas dari bangunan hitam tingkat dua yang memperdengarkan suara lolong serigala berulang-ulang di sebelah kiri kami. “Tapi nangis terus, kasihan.”

Yvonne mengambil nafas panjang dengan gurat wajah serius, “Sejak lima belas menit yang lalu perempuan itu ngeliatin kamu,” gadis ini lagi-lagi menarik kerah polo-ku, membuat telingaku sejajar dengan bibirnya, “dia mulai ketawa.”

Aku menelan ludah.

“Menurutku... dia naksir kamu.”

Oh tidak. Bulu romaku meremang.

“Jadi, kalau kamu mau

“He he hehehe eee iya iya ya udah, jadi mau pulang kan?” Aku tertawa canggung bin panik sambil mencengkram kencang sebelah lengan Yvonne. Melesat pergi, menariknya dengan langkah lebar-lebar. “AYO CUS, BURUAN, KITA PULANG SEKARANG!



#30DWCJilid6 #Day27
#KeepWriting #Day64

Komentar