Pada Sebuah Jalan

Aku pernah menggenggam erat tangan seseorang. Sangat erat. Begitu eratnya hingga tanganku sakit. 

Tak begitu kusadari bahwa, saat itu, tangannya juga memerah karena genggamanku. Tangannya juga merasa sakit. Meski begitu, ia tetap balik menggenggam tanganku. Sama eratnya. 


Kami berjalan lurus beriringan. Dengan bibir berlukiskan senyuman, putih gigi kami yang muncul dari sela-selanya, sesekali tawa ringan terdengar. Begitu saja. Sambil terus bergandeng tangan. 

Sayangnya, jalan yang lurus tak berarti mulus. Beberapa kali kami harus bergeser sedikit ke kanan, ke kiri... bahkan melompat. Menghindari lubang, retakan aspal, dan juga gundukan tanah berbagai ukuran. 

Aku pernah melihat orang lain yang juga berjalan beriringan menapaki jalan lain yang mereka pilih. Dan meskipun hanya memandangi mereka dari kejauhan, aku dapat merasakan hangat tawa mereka saat matahari mulai terbit... atau pilu air mata mereka di sela tangisan langit sore. Aku melihat bagaimana mereka memutuskan untuk menghindar dari lubang dan gundukan tanah yang ada. Sesekali mereka menoleh ke belakang, melihat ke arahku, kemudian meminta arahan dariku karena jalanan menjadi berkabut dan sulit bagi mereka untuk tahu arah. Dengan mudah dan senang hati, tentu kubantu. 

Aku tak tahu bagaimana dengannya, namun inderaku tak pernah begitu tumpul seperti saat itu. Saat tiba giliranku berjalan menyusuri jalanan lurus itu bersamanya. Kemudian, secara ajaib... intuisi dan perasaanku mulai menjadi lebih tumpul dibanding inderaku. 

Aku, kami, mulai kehilangan arah. 



--- (To Be Continued...) ---



Yazida.
20 Oktober 2020.
23.37 WIB.

#Day5
#30DWCJilid26

Komentar