What You Don't Deserve to Say
There's something that you deserve to say and you don't.
Pernah suatu hari ketika saya berkecimpung menjadi Ketua Panitia Yearbook semasa SMA saya, seorang teman mengirimkan pesan LINE di grup angkatan. Kurang lebih bunyinya begini
Yearbook-ku rusak nih, gimana nih panitia? Katanya terbaik?
Keesokan harinya, ketika teman saya ini muncul untuk menukarkan yearbook rusaknya, saya refleks sewot, "Bro, yang kamu bilang di grup kemarin, kamu nggak berhak bilang. Kalo kamu tau ceritanya, mengalami prosesnya, silakan. Itu hak kamu buat menilai. Tapi sebagai pengamat yang tidak mengalami dua hal tadi, you don't deserve to say anything."
Galak amat, Yaz? Memang.
Teman saya langsung kicep, terdiam beberapa menit sebelum akhirnya minta maaf dan bilang bahwa kalimatnya ditunjukkan bukan untuk panitia sekolah, tapi panitia dari pihak agency.
That's why konsep kehadiran itu salah satu konsep yang sangat penting dan krusial buat saya.
Saya juga nggak tau kenapa saya tiba-tiba teringat hal yang saya tulis di atas, hahahah, aneh ya? Mungkin karena apa yang saya rasakan mirip dengan kejadian beberapa hari yang lalu, saat saya tidak sengaja bertemu dan menyapa teman lama saya di stasiun, yang dibalas dengan kalimat
Balian banget.
Atau dalam Bahasa Indonesia: cepet amat sih, dikit-dikit pulang, dikit-dikit pulang, pulang terus.
Yaaa, pasti dia belum baca post saya yang ini dan/atau yang saya tulis tahun 2013 lalu, pasti dia belum pernah dengar cerita saya, pasti dia kurang hadir dalam hidup saya.
So, maaf, you don't deserve to say so :)
Budayakan bertanya jika belum tahu dan jangan memberi judgement tanpa mempunyai dasar a.k.a hanya berdasar pada pengamatan yang status sebagai fakta-nya masih dipertanyakan :)
Sekian naskah pembelaan saya (hiyaaa), wasted banget but I'm happy that I finally have a statement to say. XOXO!
#30DWCJilid5 #Day20
Komentar
Posting Komentar