Dibuai Pagi

"Dulu, ini soto langganan Pak SBY waktu jaman jadi taruna, lho..."

Ayah, yang barusan nyerocos sambil membolak-balik buku menu, mendadak melirik singkat ke arahku sambil menaik-turunkan alisnya tiga kali. Hidungku kembang kempis. Dari sudut mata, kulihat Yasmin, adik perempuanku, mengatupkan sebelah tangannya sepuluh senti di depan mulutnya yang menganga lebar. Tertawa. Tanpa suara.

Kalau yang ini memang baru kusadari betulan: 
Min, ngapain, Min, nutupin ngakak jaraknya sampe sepuluh senti gitu?Sok, ketawain aja. Aku rapopo, aku rapopo, aku rapopo.

Beberapa mangkuk soto akhirnya masuk daftar pesanan. Sebagai seorang Maniak Jeruk Panas, tak lupa Ayah pesan juga segelas... plus satu atau dua gelas jeruk panas lagi, ding. Mama dan the Kiddos ternyata sudah ketularan jadi maniak juga. Selebihnya, Mama pesan air mineral biasa (baca: tidak dingin) agar tidak seret.

Pagi itu kami disambut tirai abu-abu di langit. Suasana khas minggu pagi dengan jalanan yang masih lenggang begitu terasa. Mungkin karena lebih banyak minggu-minggu pagi yang kuhabiskan berdua dengan kasur dan selimut hangat di sebuah kamar kos tanah rantau, sepertinya.

Ketika tadi kami turun dari mobil untuk masuk ke rumah makan, entah di sudut mana Kota Pelajar ini, hujan sudah mengguyur bumi. Suhu udara seperti turun beberapa derajat celsius. Membuat sensasi bergidik dingin singkat tersendiri setelah berlari menembus tanpa bisa menghindari sentuhan bulir bening dari langit itu.

Bersantap di sebuah rumah makan beratap tinggi dengan beberapa jendela kaca memanjang tanpa tirai, beberapa pintu kayu cokelat di berbagai sisi yang dibiarkan menjeblak terbuka lebar, mataku kembali menelisik setiap ujung ruangan sembari mendengar samar rintik merdu suara hujan di luar.

Enam sampai tujuh pria dan wanita sebaya berusia lanjut di pojok ruangan sibuk mendengarkan salah seorang di antara mereka bercerita penuh ekspresi, sebelum akhirnya tertawa singkat seperti kelompok paduan suara yang sedang pemanasan. Mulai dan berhenti serentak bak dikomando.

Pramusaji yang kesemuaya pria dengan kemeja dominan hitam plus bordir merah nama rumah makan di punggung, dua sponsor di masing-masing lengan, dan sebuah tulisan kecil tak terbaca di atas saku dada kanan, berseliweran mengantar pesanan.

Aku menguap pelan, refleks punggung tangan kananku menempel di bibir. Mataku sedikit berair dibuatnya. Aku melipat kedua tangan di atas meja kayu, masing-masing telapak tangan menyentuh lengan atas tangan lain, dan mulai merebahkan kepala menghadap sisi kiri.

Aku berkedip pelan. Sepelan itu juga pandanganku mulai hilang fokus. Nafasku melambat teratur dengan kedua mata yang semakin enggan dibuka.

Di antara sejuk, tubuhku menghangat menciptakan selimutnya tersendiri. Kelopakku sudah lengket dan sadarku semakin jauh ditarik grafitasi.

Aku dibuai pagi.










#30DWCJilid5 #Day10

Komentar