Restu: Bisnis dan Permintaan




"Sampai kapanpun, kalau Mama nggak restu, aku nggak akan diterima, Ma. Lewat jalur apapun."

Aku merosot pasrah dari sofa yang sedang kududuki. Tangan kananku lemas, masih memegang ponsel pintar kecil dengan layar masih menyala, memampangkan tulisan





... sebagian kecil dari keseluruhan dokumen Tes Bakat Minat yang baru saja kuunggah. 


"Nih, Mama tuh bayanginnya Mba Zida jadi dokter kecantikan," Mama mulai lagi. Matanya menerawang jauh entah kemana. "Nanti klien Mama sebelum make up, ditanganin dulu sama Mba Zida biar mukanya lebih halus sama cerah. Nanti kita bikin Eka Beauty Center, cabang-nya Eka One Stop Wedding."

Aku bergidik.

Mama yang berprofesi sebagai MUA (Make Up Artist) atau dalam Bahasa Indonesia: Perias Pengantin, memang sudah memiliki nama hingga ke luar kota. Eka One Stop Wedding sejatinya adalah bisnis keluarga kami turun-temurun (kuyakini suatu hari nanti aku pun akan turut nyemplung juga) yang dirintis oleh Mbah Nardi, alias ibunya Mama, alias Ibu Hj. Sriati Sunardi.

PS: 
"Sunardi" bukan nama belakang Mbah Putri, tapi nama depan suaminya, alias kakekku, yang sudah terlalu enak kupanggil Mbah Kakung.

Pakde Eko memegang segala urusan dekorasi, berawal dari belajar menata bunga, kata Mbah Nardi yang dulu juga memegang bidang ini. Mama pun menggantikan Mbah Nardi yang sudah kesulitan mengikuti tren rias masa kini. Om Yudhi tertarik dengan bidang dokumentasi dan bekerja di salah satu stasiun TV ternama, dari kejauhan turut memantau bidang Fotografi dan Videografi. 

Aku? Seorang anak SMA kelas tiga, tukang upload foto dan video Instagram Eka sejak liburan kenaikan kelas satu ke kelas dua, tukang promosi "graduation SMA nggak dua kali lho gais, yakin kalian nggak dandan di Eka" sambil membawa Samsung Tab berisi kumpulan foto... aku?

Aku yang begini tiba-tiba mau dinaikkan jabatan sebagai seorang dokter kecantikan?

Aku kembali bergidik mengingat rapor seorang anak berjurusan IPA yang nilai sejarahnya nyaris sempurna sedangkan nilai mata pelajaran wajib jurusannya (baca: Fisika, Kimia, dan yang paling utama di kedokteran: Biologi) penuh kepalsuan dan katrolan, bernama... aku. 

Sudah sadar diri dari awal bahwa eksistensiku kelak sebagai dokter akan dapat membahayakan umat manusia (baca: nol modal ilmu = malpraktek).

Anggapanku bahwa materi yang akan kudapatkan apabila masuk kedokteran jika dioleskan akan sukses menutupi seluruh deretan pulau Indonesia, sementara materi yang sebenarnya Mama inginkan untuk aku berfokus (baca: segala hal yang ada sangkut-pautnya dengan kecantikan) mungkin hanya sebesar Pulau Bali... hal itu semakin membuat kepalaku berputar bersama isinya.




Juga fakta bahwa menempuh pendidikan dokter memerlukan waktu yang lama... apalagi ditambah spesialis.



Aku yang tidak ingin menjadi dokter sama sekali ini... aku yang coba Mama giring-kah menjadi apa yang Mama minta?





To be continued.
#30DWCJilid5 #Day16

Komentar