The Grey Lady

Aku nyaris saja tak mengenali perempuan yang duduk di hadapanku ini. 

Kaus oblong abu-abu kebesaran ditutupinya dengan jaket biru gelap yang juga tampak longgar dan terlalu panjang, membuatnya harus menggulung lengan jaketnya setidaknya dua kali. Entah karena itu memang gaya berpakaiannya kini (oversize style, pilihan warna 'sangat tak mencolok' dan 'sangat tak serasi', dan lainnya), atau memang berat badannya sudah menyusut jauh. Namun sekilas kuperhatikan tadi, celana khaki model pensil yang seharusnya ketat membentuk kakinya pun tampak sedikit berjarak. Menegaskan dugaanku nomor dua. 

Jari-jari tangannya yang kurus bergerak-gerak gelisah di atas meja. Aku kembali memfokuskan pandanganku kepadanya. Baru kusadari, rambut panjangnya yang entah kapan terakhir dipotong itu hanya disanggul asal-asalan menggunakan sebatang pulpen. Aku dapat melihat langsung permukaan kulitnya yang pucat tanpa olesan make-up apapun. Lalu matanya... matanya tampak cekung dengan lingkaran gelap di bawahnya. Pandangannya berpindah kesana-kemari dengan sangat cepat, entah apa yang coba dilihatnya. 

Pandangan itu kosong. Ataukah itu jiwanya? Seperti habis tak tersisa. 

Bibirnya yang sedikit membiru mulai bergetar. Terlampau dingin kah? Perlu pertolongan kah? Atau ia sedang berusaha untuk menyampaikan sesuatu kepadaku? 

Kulihat buku-buku jarinya yang memutih bergerak mendekati tanganku. Dingin. Aku menggenggam erat tangannya yang basah berkeringat.

Apakah gerangan rasa sakit yang sedang ia simpan rapat-rapat itu? 

Saat mata kami kembali berpandang, kucondongkan tubuhku beberapa centimeter ke depan, kemudian berbisik, "Kemana perginya pendar jiwamu yang menghangatkan itu?

"Yang hidup melalui sorot mata bahagiamu serta tawa renyah yang terselip dari lengkung bibirmu. 

"Yang selalu menyemangati hanya dengan melihat warna-warni pada dirimu. 

"Yang ikut terpaku oleh gerai indah rambutmu."

Perempuan itu terdiam. Sebelah alisnya sedikit terangkat. Ada tanda tanya besar dalam caranya memandangku. 

Kulepaskan genggamanku dari tangan basah itu lalu mulai mengelus lembut kedua bahunya. Dengan bibir yang ikut bergetar, kukatakan, "Aku rindu. Aku rindu masa-masa itu. Aku rindu sekali padamu."

Setetes air mata jatuh ke pipinya. Kemudian setetes lagi. Lalu entah berapa banyak lagi yang jatuh hingga mata dan wajahnya memerah. Akupun juga. 

Saat seluruh tubuhnya mulai bergetar hebat, kami berpelukan dengan sangat kencang. Ia membenamkan wajah dalam bahuku lalu mulai terisak. Kemudian aku ikut menangis bersamanya sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya. 



Entah berapa lama kami menangis.

Saat kudongakkan kepalaku, kulihat perempuan itu ikut memperhatikanku dengan matanya yang sembab dan basah. Kulihat kedua tangannya yang lemas masih berusaha memeluk lututnya yang ditekuk menaiki kursi. Aku menghapus bulir air mata yang masih sedikit jatuh. Ia pun juga. 

Kami memejamkan mata sejenak, kemudian mengambil nafas panjang dan dalam. Perlahan, kami menghembuskannya lembut melalui mulut. 

Lalu saat kuturunkan kedua kakiku kembali menapak lantai, sebelah tanganku kencang menggenggam sebelah sisi kursi yang kududuki, perempuan itu masih menatapku dengan sangat menyedihkan dari balik cermin. 

Tanpa melepas pandanganku darinya, kuletakkan sebelah tanganku yang lain di dadaku. Membuat lingkaran-lingkaran kecil dengan usapan menenangkan sambil berkata, "Maaf... Maafkan aku. 

"Aku hanya rindu. Aku rindu diriku yang dulu."



Yazida. 
6 November 2020.
23.01 WIB.

#Day22
#30DWCJilid26

Komentar