A Perfect Storm

"I love your new haircut," tanpa ragu, laki-laki itu tersenyum dan mendekatkan sebelah tangannya, hendak membelai rambutku dari seberang meja. Sambil menarik kepalaku menjauh ke sisi lain, alisku bertaut dan mataku melotot ke arah tangannya yang kini menggantung di udara tanpa tujuan selama dua detik.

Ia menarik kembali sebelah tangannya lalu mengaduk percuma seperdelapan bagian minuman smoothies yang tersisa di gelasnya. Punggungnya santai bersandar ke sandaran kursi. Aku membuang pandangan. Dari ujung mata, kulihat tatapannya yang tajam tak berhenti memperhatikanku. Ia mengerucutkan dan mengangkat ujung sebelah bibirnya, sungguh pemandangan yang membuatku muak. 

Di sekitar kami, orang-orang berlalu-lalang membaca menu dari satu pilihan makanan ke pilihan makanan yang lain. Beberapa mengantre di kasir untuk mengisi saldo kartu gesek, sebagian yang lain mencairkan sisa saldo dari kartu gesek. Para pelayan dengan baju beragam berkeliling ke setiap sisi sambil mencari nomor meja dengan desain, logo, dan nama restoran mereka masing-masing lalu menyajikan pesanan. Layaknya jam makan siang biasa di sebuah foodcourt mal. Cukup padat hingga tak sempat memperhatikan adanya ketegangan antara dua orang di dalamnya. 

Kuputuskan untuk memecah diam. Aku melirik singkat ke arahnya yang masih memasang tampang songong,  melipat kedua tanganku, lalu bertanya, "Sekarang apa maumu?"

Ia mengambil nafas panjang, "Hey, relax." Laki-laki itu mencondongkan tubuh dan berusaha menyentuh lengan atasku, "Kalau galak begini, nanti cantikmu hilang, kau tahu." 

Aku mengacungkan jari telunjuk ke atas dan menghentakkannya pelan di sebelah mata kananku, sembari berucap, "One more word like that, one more touch, and I'll scream."

"Oke, baik, fine," ia mengangkat dan menunjukkan kedua telapak tangannya yang kosong, sejajar dengan bahunya. "Mengapa kau begitu marah padaku?"

"Seriously? Ha. Ha. Ha," responku. Lengkap dengan tawa paling palsu yang sepadan dengan pertanyaan bodohnya. 

"Aku serius, Manis. Apa salahku pada-"

"You ditched me in our supposed-to-be engagement day," aku menebalkan pelafalan pada kata kedua. Memastikan ia memahami betul apa yang kukatakan. "Lalu sekarang kau berharap aku mau menemuimu dengan sukarela, dengan hati lapang, penuh senyuman bahagia bak menyambut dan mengelu-elukan seorang pahlawan yang kembali dari medan perang?"

"Babe, dengarkan aku dul-"

"It's Liv," otot-otot di rahangku menegang. "Tiga bulan menghilang tanpa kabar lalu kau tak lagi ingat namaku? Wow." Aku bertepuk tangan sinis dengan tempo pelan sambil menggelengkan kepala.

Sambil memegang kedua ujung meja di sisiku, memajukan sedikit kepalaku, aku menatap lurus matanya dan langsung ke jiwanya yang mati. "Don't 'babe babe' me. I'm nobody's 'babe'."

"Oke, maaf, Liv," ia memberi penekanan saat menyebut namaku. Sedikit berlebihan sebenarnya karena kedua jari di kedua tangannya ikut terangkat kemudian membuat gestur tanda kutip. Seakan tak ada cara lain memperburuk suasana. "Sekarang bolehkah aku bicara?"

"Whatever, dude."

"Dengar, Liv," ia membuka mulutnya, kali ini lebih berhati-hati dari sebelumnya. "Kau lulusan S3 Standford, beasiswa LPDP! Tak pernah absen Cumlaude sejak S1 di UI. Pakaianmu selalu bagus dan serasi, pasti mahal. Usiamu sama denganku namun bersikap seperti kakak tertuaku. Namun di usiamu ini juga, bisnismu sudah sukses bercabang di mana-mana. Aku? Otak rendahan yang masuk dan lulus kuliah melalui jalur belak-"

"Jadi ini salahku karena aku pintar, berpakaian rapi, bersikap dewasa, dan sudah dapat mencukupi kebutuhan hidupku sendiri?" Aku memutar mataku.

"Well, iya. Tentu kau seharusnya mengal-"

"Geez, please stop," aku menggelengkan kepala dengan mata terbelalak. Kedua tanganku bergerak seperti mendorong angin yang ada di depan tubuhku. "I'm so not in the mood to hear you gaslighting me again right now. I've been hearing it for a whole year when we're dating back then.

"And you know what? This whole conversation is probably pointless."

Aku memasukkan beberapa barangku yang masih tercecer di meja ke dalam tas. Sebuah novel, buku catatan kecil, pena, dan ponsel pintar. Alat-alat yang menemaniku 'me time' dengan tenang dan bahagia sebelum laki-laki ini mendadak menemukan tempat persembunyianku yang baru lalu langsung nimbrung tanpa permisi. Ya, technically, berada di tempat ramai membuatku lebih aman karena menyediakan banyak bala bantuan. Terutama dalam bencana besar seperti bertemu manusia narsistik, genit, dan tak berjiwa yang duduk di hadapanku bak tanpa dosa ini.

"But if what you seek is my forgiveness, then I'll forgive you. Eventually." Aku menutup resleting utama tasku setelah semua barang berhasil kumasukkan dengan sekenanya, lalu membuka resleting kecil di bagian depan tas dan mulai merogoh. "Though you know, I have every right to be mad, especially with you. Anggap saja aku sedang bermurah hati."

Tersenyum, aku menggoyang-goyangkan kunci mobil yang sudah berhasil kutemukan. Kudorong kursiku sedikit ke belakang, kemudian berdiri. Ia ikut berdiri, berniat mengintrupsi, namun keburu kulanjutkan kalimatku, "I forgive you not because I feel pity of me, you, or us, despite you clearly being so chickened out and deserve to be pitied."

"Liv, calm down," ia mengisyaratkanku untuk duduk kembali. Sambil meletakkan telunjuk di bibirnya, ia melanjutkan, "Pelankan suaramu. Banyak orang di sini..."

"Kenapa? Kau bisa malu juga rupanya?" Dengan sengaja, aku mengencangkan volume suaraku dan membuat empat orang pengunjung dan dua pelayan menoleh. Aku mencondongkan tubuhku, berbisik, "You should be. Sejak tiga bulan yang lalu."

"Anyway," kulangkahkan kakiku ke celah cukup besar antara dua meja. Kutatap matanya lekat-lekat, tak lupa memberikan senyuman paling sarkas yang kumiliki. "I was right. Aku memang seharusnya tersenyum bahagia menyambutmu. You really are, my hero!"

Matanya berbinar bangga, "Am I?"

"Yes, yes," aku maju beberapa langkah, memegang lalu menggoyang-goyangkan kedua bahunya, dengan kepala mengangguk-angguk bersemangat. "You are. You save me from marrying a jerk like you."

Sambil memegang kedua pipiku sendiri, aku melotot sambil mengedip-ngedipkan mata dengan sangat tidak natural. "Oh God, how could we even date each other from the first place?"

Kutepuk ringan dadaku, menyadari betapa beruntung dan berartinya diriku bagi diriku sendiri. Aku melenggang pergi meninggalkannya mematung, tanpa sedikitpun ingin menoleh ke belakang. "Surely, I deserve so much better.

"Bye, Dick."




#Day17
#30DWCJilid26

Komentar