A Young van Dyke Man

"Melamunkan siapa lagi to, Nduk?" Si Mbok menyenggol sikuku pelan sambil lanjut mengelap lantai di sampingku. Ia melirik lalu bertanya dengan nada menggoda, "Tuan Muda?"

Aku tertawa kecil sambil menggelengkan kepala, kembali ke dunia nyata. Sambil membilas dan memeras kain pel di tanganku, aku menjawab, "Bukan siapa-siapa, Mbok."

Pria londo berhidung mancung yang sebaya denganku itu berpakaian rapi sekali hari ini. Kemeja biru muda yang dilengkapi dengan rompi dan dasi kupu-kupu kecil coklat muda. Senada dengan celana kain panjang yang dikenakannya. Meskipun memang, setelah kupikir-pikir lagi, tak seharipun sejak aku mulai bekerja di sini dua bulan yang lalu ia pernah berpakaian tak pantas. 

Ia menyemprot satu per satu tanaman hias yang digantung berjajar di sepanjang dinding kebun belakang. Sangat mudah dijangkau mengingat posturnya yang jangkung. Dengan ujung lengan kemeja, ia mengelap keringat di antara dahi dan rambut pirangnya. Laki-laki itu sesekali menyapa dan membelai pelan daun dan bunga segar itu. 

Senyumannya manis sekali. Sulit untuk diabaikan begitu saja.

Si Mbok menghentikan aktivitasnya sejenak kemudian duduk bersimpuh. Keningnya yang sudah berkerut dimakan usia, kini semakin berkerut ketika matanya menyipit menyelidik ke arahku. Wanita tua itu menghela nafas panjang, menggeleng. Perlahan ia mengelus bahuku yang tertutup kebaya putih, persis seperti yang dikenakannya. "Nduk, perlu Si Mbok ingatkan lagi siapa Tuan Muda Edwin dan keluarga van Dyke?"

Aku menundukkan kepalaku sejenak. Kemudian kuperhatikan laki-laki dengan wajah memerah kepanasan yang kini sedang menghentak-hentakkan sepatu kulitnya ke pinggiran batu, memastikan jejak tanah tak mengotori lantai yang sudah aku dan Si Mbok bersihkan. Tuan Muda Edwin menoleh, menganggukkan kepala sambil tersenyum pengertian ke arahku. Aku buru-buru menunduk kembali meskipun sudah tertangkap basah. Laki-laki berpendidikan yang tercermin dalam santun perilakunya terhadap semua makhluk hidup itu berjalan melewatiku, lalu masuk dan menutup pintu kamarnya.

Ia selalu sendiri. Ia selalu kesepian.

Ayahnya, Tuan Huub van Dyke, hampir tak terlihat di rumah karena bisnis ekspor rempah-rempah yang dimilikinya sedang berada di puncak kesuksesan. Pria itu dingin dan hampir selalu mengabaikan keberadaan kami, para pesuruhnya. Ibunya, Nyonya Rebekka van Dyke, hanya punya dua rutinitas: mengundang teman-temannya ke rumah untuk bergosip dan saling memamerkan perhiasan, atau pergi ke perjamuan di mana kumpulan wanita kaya saling bergosip dan lagi-lagi memamerkan perhiasan. Tak ada yang ciri istimewa yang begitu membedakan antara Nyonya van Dyke dengan teman-temannya. Dagu seluruh wanita itu selalu terangkat ke atas, tak pernah tak bersikap jemawa, dan terang-terangan memandang kami dengan tatapan jijik.

Aku juga tak mengerti dari pihak mana sifat rendah hati yang dimiliki anak mereka diturunkan. Mungkin juga karena asuhan Si Mbok semenjak ia kecil. Sudah hampir dua puluh tahun lamanya ia bekerja di rumah ini, bahkan sebelum seorang Edwin van Dyke lahir.


Setelah kembali dari lamunan, aku memandang wanita tua yang sudah memperlakukanku seperti anaknya sendiri itu, menjawab, "Ndak perlu, Mbok."

"Londo. Jangan lupakan hal itu," Si Mbok menimpali, menekankan kata-katanya dengan suara pelan seakan menjawab pertanyaannya sendiri. Ia kembali membilas dan memeras kain pelnya. "Lalu, apa masih perlu Si Mbok ingatkan siapa kita ini?"

"Aku tau. Aku tau, Mbok," aku meletakkan kedua tanganku di lutut, kemudian mulai meremas-remas kain jarik coklat tua yang membalut tubuh bagian bawahku. Aku mengambil nafas panjang, memejamkan mata seakan ditampar kenyataan. "Kita cuma pribumi. Babu."



Yazida.
8 November 2020.
22.08 WIB.

#Day24
#30DWCJilid26

Komentar