2 Cinta dari Rena yang Tak Pernah Kumiliki

2 Cinta dari Rena yang Tak Pernah Kumiliki


Rena dan aku adalah anak kembar. Dia Rena dan aku Reva. Walaupun kami anak kembar, akan tetapi kami masing-masing memiliki sahabat yang berbeda. Rena memiliki sahabat lelaki yang selalu setia menemaninya, Dylan namanya. Sedangkan aku memiliki 2 sahabat yang selalu membuat hatiku senang, kami bertiga biasa di panggil LuReFlo, Lupita, Reva, dan Flora. Sedangkan aku dan Rena juga sahabat, kami adalah sahabat lahir.

Tidak hanya berbeda sahabat, hoby dan warna kesukaan pun jauh bebeda. Rena lebih suka menghabiskan waktunya untuk menulis sebuah karangan, membaca buku, dan belajar bersama Dylan. Sedangkan aku lebih suka jalan-jalan ke mall bersama Lupita dan Flora, curhat bersama di kamar, bermain HP, bermain internet, berlatih band, dan menyalakan tape keras-keras lalu menari sesuka hati. Sangat jauh berbeda. Rena suka sekali warna ungu. Sedangkan aku lebih suka warna hitam.

Aku kasihan dengan Rena. Walaupun perbedaan kami sungguh banyak, akan tetapi ada satu perbedaan yang sangat amat bisa membedakan kami. Rena terlahir lemah. Aku sangat amat menyayangi Rena. Akan tetapi Mama sangat lebih sayang kepada Rena, hingga aku merasa sudah tak di anggap lagi sebagai anak. Akan tetapi aku juga mengerti bahwa Mama begitu karena Mama takut akan terjadi sesuatu yang tidak di inginkan pada Rena.
Walaupun Rena lemah ia tetap bersemangat pergi ke sekolah. Dengan lembut dan manis ia menyapa setiap orang yang ia jumpai di sekolah.

”Selamat pagi Bu! Hai Dylan!”, kata Rena.

Ia pun antusias menerima ilmu dari Bapak-Ibu gurunya. Lain seperti aku, begitu datang langsung di sapa bukan menyapa. Aku juga sering tidur di jam pelajaran yang membuatku mengantuk. Itu sebabnya nilai ulanganku rata-rata rendah. Rena nilainya jauh lebih tinggi dari aku. Itu sebabnya dia mendapat ranking 1 di kelasnya.

Sekolah kami berbeda tetapi dekat. Mama menyekolahkan Rena di sekolah yang fasilitasnya terbagus, teraman, dan terlengkap di kota ini. Sedangkan aku, hanya di sekolahkan di SMA Swasta yang fasilitasnya seadanya.

Dahulu sewaktu aku SMP kami satu sekolah dan satu kelas. Di hari kelulusan kami, tiba-tiba di waktu aku sedang membelikannya minuman ia yang lemah tak berdaya itu di keroyoki oleh segerombolan orang yang tak lain adalah temanku sendiri. Entah apa sebabnya, yang jelas segera aku berteriak meminta tolong. Rena langsung di larikan ke rumah sakit terdekat. Ia pingsan tidak sadarkan diri. Sesegera mungkin aku menelpon Mama yang sedang meeting di kantor.

”Ma, maaf mengganggu. Tapi Rena masuk rumah sakit Ma!”, kataku.

”Apa???!!! Rumah sakit apa, Rev?”, tanya Mama.

”RSU Teladan Ma!”, kataku.

Lalu Mama segera menuju RSU Teladan dan Mama langsung bertanya pada dokter yang menangani Rena.

”Dok, bagaimana kondisi anak saya dok?”, tanya Mama.

”Dia baik-baik saja Bu. Hanya sedikit trauma dan luka ringan.”, kata dokter.

Tidak lama setelah itu Mama di perbolehkan masuk oleh dokter. Mama sangat khawatir pada Rena.

“Ren, kamu baik-baik saja kan?”,tanya Mama.

”Aku tidak apa-apa kok Ma!”, kata Rena.

Lalu Mama keluar dan berbicara padaku.

”Kamu itu di titipin adik sebentar kok tidak bisa di jaga?? Untung saja lukannya tidak parah!
Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Rena, kamu yang harus tanggung jawab!”, teriak Mama.

Begitulah Mamaku, hingga akhirnya kami di pisahkan sakolahnya. Tapi tak apa, di rumah kami masih bisa bertemu. Rena sudah mengenal Lupita dan Flora. Begitu juga aku telah mengenal Dylan. Tanpa di sadari, aku jatuh cinta pada Dylan. Tak ada seorang pun yang tahu. Hanya aku, Diary, dan Tuhanku yang tahu.

Aku sering mendengar cerita dari Rena, namun malam itu aku terkejut mendengar cerita deri Rena.

” Rev, hari ini aku seneng banget!!!! Aku baru merasakan perasaan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya!”, kata Rena.

” Perasaan apa Ren?”, tanyaku.

” Jatuh cinta.”, katanya dengan lembut.

” Hayooo!!! Jatuh cinta sama siapa nih?”, tanyaku dengan nada sok imut.

” E.. Aku jatuh cinta sama... sama... sama Dylan! Tapi aku heran juga sih sama diriku sendiri, harusnya aku kan tidak merusak persahabatanku dengan cinta, harusnya aku kan tidak boleh jatuh cina kepada sahabatku sendiri!”, cetus Rena.

Aku hanya bisa terdiam tanpa kata di atas tempat tidur. Aku berfikir bahwa aku tak akan bisa merebut Dylan dari sahabat lahirku Rena. Aku melamun sampai akhirnya...

” Aku harus bagaimana Rev? Reva! Helow!”, teriak Rena.

” Plis jangan di rebut!”, kataku tanpa kusadari.

” Woy! Aku tanya harus gimana kok malah di jawab ’Plis jangan direbut!’ ”, kata Rena sambil berceloteh.

” Sorry, aku tadi nggak denger kamu ngomong apa. Bisa ulangi apa yang kamu omongin?”, jawabku.

” Aku harus gimana menghadapi perasaanku sama Dylan?”, ulangnya.

” Ooh... Sebaiknya kamu bersikap biasa saja jika dekat dengan Dylan, nggak ada gunanya juga kamu jatuh cinta dengan sahabatmu sendiri. Toh juga kalau kamu jatuh cinta dengan Dylan, itu hanya merusak persahabatan kalian!”, celotehku.

Ternyata apa yang aku katakan pada Rena dia lakukan. Meski ku tahu bahwa seharusnya aku tidak boleh begitu, mentang-mentang aku sehat, mentang-mentang aku kuat, aku harus menjauhkan kembaranku sendiri dengan orang yang dia cintai?! Dan dia adalah orang yang aku cintai pula.

Aku nggak tau mau mengungkapkan perasaanku ini pakai apa! Lagian kan dimana-mana cowok yang nembak cewek! Tapi gimana soal larangan Mama pada saat itu yang tak sengaja ku dengar?

” Rena jangan pacaran dulu! Hidup masih panjang! Belum tentu orang itu adalah jodoh yang tepat untuk kita. Jangan sampai kalan salah memilih orang itu ya...”, begitu isi nasihat dari Mama untuk Rena yang tak sengaja ku dengar. Entah mengapa aku merasa nasihat itu di tunjukkan untukku pula.

Tapi gimana kita bisa bersatu? Pacaran aja nggak boleh! Lama-lama aku tambah bingung deh sama Mama.

Hari ini aku berangkat seperti biasanya, namun aku kali ini yang akan menjemput Rena sekolah. Kami kan berbeda sekolah, jadi bagaimana pun juga harus ada yang datang ke sekolah salah satu dari kami dengan pak Ucok, sopir kami. Begitu Rena masuk ke mobil tiba-tiba Dylan ikut masuk ke mobil dan Dylan duduk tepat di sebelahku. Alangkah senangnya hari itu, bisa duduk di sebelah Dylan. Itu baru duduk bersebelahan. Aku tak akan berlebihan dengan Dylan, karena ku tahu Rena juga telah jatuh cinta kepada Dylan.

Ternyata Rena & Dylan hari itu belajar kelompok. Aku memanfaatkan moment ini untuk bisa dekat dengan Dylan. Rena juga tidak merasa ada sesuatu tentang perasaanku sama Dylan.
Yes! Akhirnya aku bisa lebih mengenal Dylan! Tapi aku harus menjaga sikap supaya Rena tidak tahu soal perasaanku ini. Aku tidak mau melukai hati sahabat lahirku.

Malam harinya kami kembali bercerita-cerita lagi soal apa saja yang kami dapatkan di hari ini.

” Rev, hari ini aku sudah mencoba untuk melepaskan cinta yang ada dalam hati ini untuk Dylan. Tapi aku nggak bisa menghindar dari itu semua. Malah, aku merasa semakin dekat sama Dylan. Terlebih perasaan itu makin kuat!”, kata Rena.

” Mungkin kamu butuh refresing jalan-jalan di taman atau apalah tempat sepi biar kamu bisa menghapus cintamu pada sahabatmu Ren! Apa biar nggak terlalu lama kamu perginya besok aja?”, kataku hingga bertanya.

” Oke! Habis pulang sekolah kita langsung ke taman. Tapi ingat jangan bilang siapa-siapa ya!”, kata Rena.

” Okay!”, jawabku.

Sore itu kami ke taman sehabis pulang sekolah. Kami tak mau ditemani oleh pak Ucok. Pada saat kami akan menyebrang Rena sudah berjalan dengan mundur sambil melihatku lalu ada mobil yang bergerak cepat melaju dari arah kiri akan menabrakku. Saat itu juga Rena berlari mendorong aku sehingga yang tertabrak Rena bukan aku.

" Duaaaarr! ", suara benturannya sangat keras sekali.

” Ren, Rena bangun! Rena bangun! Aku harus telpon pak Ucok! Halo! Pak Ucok! Pak cepet jemput kita di taman cepet pak!”, teriakku.

Dalam kurang dari 5 menit pak Ucok sudah sampai karena rumah kami dekat.

” Ada apa non? Astaghfirullahhaladzim! Non Rena?!”, kata pak Ucok.

” Udah pak! Cepet di gendong terus dibawa ke rumah sakit!”, kataku.

“ Iya Non!”, kata pak Ucok.

Perjalanan ke rumah sakit kami tempuh 15 menit karena agak jauh. Aku harap Rena selamat. Aku tidak ingin terjadi apa-apa lagi mengingat luka pada kepalanya parah! Akhirnya kami sampai di Rumah Sakit terdekat. Rena segera di bawa menuju ruang UGD.

” Ren, tahan ya...”, kataku.

” Iya Non, bertahan ya Non.”, kata pak Ucok.

Aku takut Mama semakin membenciku. Aku juga tidak berani memberi tahukan Mama yang sedang di luar negri. Mama akan pulang bulan depan. Terlebih ini baru tanggal 5. Aku tahu ini semua kesalahanku. Jika aku tidak membiarkan Rena menolongku, pasti aku yang akan tertabrak dan Mama tak akan benci terhadap aku. Yang aku mau hanyalah bisa di peluk Mama. Seumur-umur aku tak pernah merasakan di peluk Mama. Saat aku sedang melamun, tiba-tiba...
” Apakah anda saudaranya pasien tadi?”, tanya seorang dokter padaku.

” Iya! Aku Reva saudara kembarnya Rena! Gimana keadaan Rena dok?”, tanyaku.

” Untuk hasil lebih lanjut mari ikut saya!”, kata dokter.

Akhirnya aku mengikuti dokter untuk pergi ke ruangannya. Namun aku sempat berbisik beberapa kata pada pak Ucok.

” Pak, jangan bilang Mama ya..”, kataku.

Setelah mengikuti dokter tadi akhirnya kami sampai di Ruangannya.

” Luka di kepalanya sangat parah sehingga kami harus mengadakan operasi.”, kata dokter itu yang tak lain adalah Dr. Eka.

” Apapun akan saya lakukan asalkan Rena bisa sembuh Pak! Tapi tolong sembuhkan Rena pak!”, kataku sambil menangis.

Akhirnya operasi pun di lakukan. Dan aku mulai memikirkan soal biaya yang harus aku keluarkan untuk biaya perawatan Rena. Aku teringat 1 hal, aku punya uang tabungan, aku juga punya perhiasan yang tak pernah aku pakai. Aku bisa jual itu semua.

” Pak jangan kemana-mana ya pak! Tunggu disini sebentar!”, kataku pada Pak Ucok.

Akhirnya aku langsung menuju rumah dan aku langsung mengambil semua perhiasanku dan aku jual di toko mas terdekat dari rumahku. Akhirnya aku mendapatkan uang Rp.3.000.000 lumayan buat uang sementara.

Setelah ia sadar, Rena bertanya-tanya padaku tentang kejadian tadi.

” Kamu bayar ini semua pakai apa Rev?”, tanya Rena padaku.

” Sudahlah, itu gampang.”, kataku.

Aku tak tahu dokter berkata apa saja ke Rena, yang aku dengar Rena sudah boleh pulang 3 hari kemudian.

Selama berbulan-bulan, aku terus menabung untuk membiayai proses operasi Rena itu.

Setahun berlalu, kami sudah bisa melupakan kecelakaan itu. Ternyata sebelum di perbolehkan pulang, dokter Eka sempet berbicara sesuatu pada Rena. Aku tak tahu apa.

Hari itu Rena tak menjemputku, aku juga tak menjemput. Begitu sampai di rumah, aku terkejut melihat Rena yang sudah tergeletak di lantai dan ada darah di hidungnya. Dan darahnya sangat banyak!



” Mbok! Mbok Inah talong Mbok! Pak Ucok tolong pak!”, kataku.

Akhirnya Rena dilarikan ke rumah sakit dimana dulu dia pernah di rawat. Aku pun langsung meminta dokter Eka untuk segera menangani Rena yang sudah tak sadarkan diri. Rena sudah dilarikan ke ruang UGD. Akhirnya Rena sudah ditangani dan Dokter Eka meminta aku untuk membicarakan masalah Rena.

” Reva, apakah kamu sudah cek kesehatan Rena lagi seperti yang saya bilang pada Rena? Apakah Rena sudah memberitahukan itu padamu?”, kata Dokter Eka.

” Dia nggk pernah kasih tau aku kalau dia harus cek kesehatan. Memangnya dia kenapa Dok? Rena kenapa?”, tanyaku.

” Maaf tapi, dia terkena kanker otak stadium akhir. Akibat operasi besar-besaran satu tahun yang lalu.”, kata Dokter Eka.

” Apa?????!!!!! Nggak mungkin! Nggak mungkin Rena bakal ninggalin aku!”, kataku sambil menangis.

” Yang sabar ya Rev. Saya permisi dulu. ”, kata Dokter Eka.

Aku tak bisa melihat sahabat lahirku meninggalkan aku. Aku tak mau. Diaryku selalu kubawa kemana-mana. Tak lupa setiap hari kegiatan atau curahan hatiku aku tulis disana. Ke sekolah, ke Mall, kemana pun aku bawa dan saat itu aku membawanya menemani Rena di rumah sakit. Aku lelah, aku sangat ngantuk. Akhirnya aku tidur. Aku tidur di dekat ranjang Rena.

” Oaaahhh! Reva mengapa tidur disini? Sepertinya tas ini mengganggunya. Lebih baik aku pindahkan.”, kata Rena.

Tiba-tiba ada sebuah buku yang jatuh di pangkuan Rena dari tas Reva yang ternyata adalah buku Diary Reva.

” Buku apa ini? Sepertinya aku belum pernah melihat buku ini. Kira-kira isinya apa ya? Lebih baik aku buka supaya aku tahu apa isinya.”, katanya pada dirinya sendiri lalu membuka dan membacanya.

5 Juni 2005
Dear Diary,
Entah apa yang aku rasakan di hari ini Dear,
Tapi aku merasakan suatu hal yang berbeda di hari ini.
Hatiku ini rasanya happy banget!
Aku nggak nyangka,
Ternyata aku jatuh cinta....
Aku jath cinta pada orang yang tak lain adalah...
Sahabat yang dicintai oleh kembaranku sendiri...
Dylan!
Tapi....
Aku tak bisa Dear,
Aku takmungkin menghianati kembaranku sendiri.
Kuharap engkau bisa merahasiakannya Dear.
Jagalah rahasia ini dengan baik ya....

Reva

6 Juni 2005
Dear Diary,
Hari ini aku sebel banget Dear!
Reva manfaatin moment belajar bareng sama Dylan buat mesra-mesraan.
Huh!
Aku nggak terima dear!
Tapi gimanapun juga aku harus ikhlas Dear.

Reva

7 Juni 2005
Dear Diary,
Hari ini aku ngajak Rena refresing ke taman...
Tapi ada hal buruk nich Dear....
Rena ketabrak mobil gara-gara mau nyelamatin aku!
Aku jadi nggak enak sama Rena.
Lebih parahnya lagi dia sampe di operasi besar-besaran
Gara-gara luka parah di kepalanya.
Aku takut mama semakin benci sama aku.

Reva


9 Agustus 2006
Dear Diary,
Hari ini Rena masuk rumah sakit ketika aku pulang.
Aku khawatir sekali padanya. Terlebih, aku menyadari bahwa...
Penyakit Rena yang sangat amat membuatku sedih.
Aku baru tersadar kalau saja penyakit itu bukan penyakit biasa.
Tetapi dia terkena kanker otak stadium akhir gara-gara...
Operasi total di kepalanya karena di tabrak lari oleh mobil.
Aku nggak nyangka dia bakalan ninggalin aku.
Dear,
Apa yang harus aku lakukan?

Reva

Akhirnya Rena mengetahui apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya. Dia langsung menangis dan mengembalikan Diaryku ke dalam tasku. Dan aku pun terbangun dari tidurku.

” Oahhhh!!! Lho Ren, kamu kenapa nangis?”, tanyaku.

” Enggak. Aku nggak papa. Aku juga nggak nangis kok!”, katanya sambil menghapus air mata.

” Nggak nangis gimana? Jelas-jelas matamu merah begitu. Aku selalu ingat, jika kamu menangis pasti matamu merah.”, kataku.

” Ini cuma kelilipan kok.”, katanya samtai.

” Lho!!!???? Mana tasku? Kok nggak ada sih?”, kataku sambil melihat sekeliling.

” Oh ya.... Ini tasmu. Sorry, tadi aku melihat tidurmu nyenyak sekali. Dan sepertinya tas itu agak sedikit mengganggu jadi aku pindahkan.”, kata Rena sambil menyerahkan tas milikku itu.

Aku heran. Mengapa tasku bisa tertutup rapi seperti ini? Sementara aku tak pernah menutup tas sekolahku. Aku juga terheran ketika melihat buku didalamnya sudah tersusun rapi. Tiba-tiba saat aku melihat-lihat keadaan dalam tasku....

” Rev, sebenernya aku itu kanker otak kan???!!! Kenapa kamu nggak bilang Rev? Kenapa kamu nggak bilang sama aku??”, kata Rena sambil menangis tersedu-sedu.

” Tttt...Tapi...Kalau aku bilang pasti kamu akan terpukul dan kamu pasti tidak akan cepat sembuh.”, kataku dengan gemetaran.

” Aku itu nggak mungkin sembuh. Karena ini kan udah stadium akhir. Dan aku pasti mati, nggak bakal lama lagi.”, katanya sambil menangis lebih kencang dan tiba-tiba....

’ Tes.. Tes....Tes ’ beberapa tetes darah keluar dari hidung Rena lalu Rena merasakan sakit dikepalanya yang luar biasa.

” Aduh! Sakit! Sakit! Sakit!”, kata Rena sambil memegang kepalanya.

” Dokter! Dokter! Tolong Dok!”, kataku panik.

” Adik sebaiknya menunggu di luar. Soal ini biar kami yang menangani.”, kata Dokter.

Aku hanya berharap, Rena bisa sembuh. Hanya itu. Aku tak mau melihatnya sakit seperti itu.



Keesokan harinya...

” Rev, Reva bangun Rev. Rev, aku minta tolong ya.. sama kamu. Tolong kamu jangan bilang Mama ya.. tentang ini semua. Aku nggak mau pekerjaan Mama jadi terganggu gara-gara aku.”, kata Rena pelang.

” Oah... Iya Ren. Tapi kamu harus janji, nanti kamu harus cemotherapy. Biar cepat sembuh ya Ren.”, katakku.

” Iya Rev. Aku janji.”, kata Rena.

Siang itu Rena harus menjalani Chemotherapy. Aku mengantarkannya ke ruangan tempat dia akan di Chemotherapy. Jujur, aku memang tidak tega melihatnya kesakitan. Aku kan saudara kembarnya, pastinya aku juga merasakan apa yang dia rasakan.

Setelah Rena selesai di Chemotherapy...

“ Rev, aku mau di sisa hidupku ini aku bisa menelesaikan sebuah karya yang ada di buku bersampul ungu itu Rev.”, katanya.

“ Iya Ren, akan aku ambilkan. Nah, ini bukunya, in bolpoinnya.”, kataku sambil menyerahkan bolpoin dan buku bersampul ungu.

” Makasih ya Rev!”, katanya sambil memulai menulis.

” Memangnya karya apa yng kau buat Ren?”, tanyaku penasaran.

” Ada deh! Nanti deh liat aja sendiri!”, katanya.

Aku mulai penasaran. Tapi... Yah! Mau apa lagi. Kita lihat saja nanti. Pasti ada saatnya.

Aku pun pergi meninggalkannya dan aku pergi ke rumah dulu untuk mengambil pakaian Rena. Saat aku sampai di rumah, Mama sedang ada meeting di luar kota.
Di rumah sakit....
Rena telah menyelesaikan karya itu. Namun tiba-tiba...
’ Bruk! ’ buku bersampul ungu itu jatuh dan dokter dan para suster berlarian menuju kamar Rena.
” Ayo larikan ke ruang UGD! Kondisi pasien kritis!”, teriak Dokter Eka kepada para suster.
Rena pun dilarikan ke ruang UGD.
Saat aku tiba di rumah sakit aku langsung menuju ke kamar Rena. Melihat Rena tidak ada di tempat aku melihat-lihat sekitar ruangan dan aku menemukan buku ungu itu. Dan saat kubuka didalamnya ada 3 amplop. Saat kubaca sampul depannya ada tulisan Untuk Mama, Untuk Dylan, dan yang terakhir Untuk Reva.
Aku lalu membuka amplop yang ketiga. Dan ternyata isinya adalah sebuah surat.

25 Agustus 2006
Untuk Reva

Reva, aku tahu kalau kamu itu cinta sama Dylan kan? Aku juga tahu kalau kamu selelu merasa iri padaku karena kamu merasa tidak mendapatkan cinta dari Mama. Aku sadar, hidupku sudah tidak lama lagi. Percuma jika aku sudah mendapat cinta dari Dylan tetapi saat itu hanya sebentar. Aku juga nggak mau kalau Mama terus-terusan mikirin aku kalau aku emang udah nggak ada. Aku kasih semua itu buat kamu Rev, 2 cinta yang tak pernah kamu miliki. Cinta dari Dylan dan Cinta dari Mama. Setelah kamu baca surat ini kamu boleh bilang Mama kok tentang penyakitku ini.Dan jangan lupa untuk memberikan kedua surat lainnya kepada yang berhak, karena aku yakin kamulah pembaca pertama dari ketiga surat itu. Jangan lupakan aku ya Ren....
Salam Terakhir
Rena
Tak terasa air mataku menetes di lembaran surat itu. Akupun langsunag mengabari Mama tentang keberadaan Rena. Aku juga memberu tahu Dylan.
Keduanya datang dengan waktu yang hampir bersamaan. Hanya hitungan detik yang membedakan keduanya. Aku langsung bicara kepada keduanya tentang yang sebenarnya terjadi.
” Mama... Dylan.... Sebenernya aku mau... mau menyampaikan sesuatu Ma, Lan. Hal ini bersangkutan dengan Rena.”, kataku sambil menangis terisak-isak.
” Kenapa dengan Rena? Jangan-jangan kamu teledor lagi! Dasar anak yang tak tahu di untung!”, kata Mama sambil membentakku.
” Iya Rev, sebenarnya Rena kenapa? Kenapa kamu bisa sampai menangis seperti itu?”, tanya Dylan.
” Sebenermya Rena sudah masuk rumah sakit sejak sehari yang lalu. Aku tidak bilang pada Mama dan Dylan atas permintaan Rena sendiri.”, kataku sambil mengusap air mata.
” Lantas apa yang membutnya masuk ke rumah sakit?”, tanya Dylan.
” Dulu, tepatnya setahun yang lalu aku dan Rena jalan-jalan dengan tujuan refreshing. Aku lagi jalan di jalan sempit di taman. Tahu-tahu ada mobil mau tabrak aku dari blakang. Terus Rena dorong aku dan dia yang kena. Terus waktu aku bawa ke rumah sakit luka di kepalanya parah banget. Lalu Rena di operasi besar-besaran.”, kataku sambil menangis.
” Sudah Mama duga pasti kamu yang menyebabkan semua itu! Tapi apa kaitannya dengan peristiwa setahun yang lalu? Bukannya Rena baru sakit kemarin?”, tanya Mama heran.
” Kemarin aku pulang sekolah. Aku melihat Rena udah pingsan dan di hidungnya ada darah. Akhirnya Rena aku bawa ke rumah sakit. Dan kata Dokter.... Kata Dokter.....”, kataku tak ingin mengatakan hal itu.
” Kata Dokter apa Rev?”, tanya Dylan lembut.
” Kata Dokter Rena terkena Kanker Otak stadium Akhir. Karena sebenarnya Dokter sudah menyuruh Rena untuk chek kesehatan. Tapi Rena nggak bilang hal ini sama aku. Jadi aku nggak tahu dan Rena jadi seperti ini.”, kataku.
” Jadi Rena terkena Kanker Otak stadium akhir?!”, kata Mama kaget.
” Oh ya Ma, Lan. Ini ada titipan dari Rena untuk kalian berdua.”, kataku sambil memberikan kedua surat itu pada yang berhak.
Mama membaca surat itu. Kemudian Mama menangis dan menjatuhkan surat itu. Aku langsung mengambil surat itu, tanpa sengaja isi surat itu terbaca. Isinya sangat singkat.
25 Agustus 2006
Untuk Mama.

Ma... Mama pasti sudah dibari tahu Reva. Ma... Aku mohon sama Mama. Tolong Mama.... Sayangilah dan cintailah Reva sepeti Mama menyayangi dan mencintai aku. Karena Reva adalah aku dan aku adalah Reva.

Salam Terakhir
Rena
Takku sangka Rena memberikan cinta dari Mama yang tak pernah kumiliki. Aku sangat berterima kasih pada Rena. Saking senangnya aku sampai menangis. Tiba-tiba....
“ Jadi selama ini kamu jatuh cinta sama aku Rev? Kenapa kamu nggak bilang?”, kata Dylan tiba-tiba.
“ A... Aku nggak bilang soalnya Rena juga jatuh cinta sama kamu! Aku nggak mau nyakitin hatinya!”, kataku.
“ Oke! Aku ngerti. Tapi aku mau njalanin apa yang ada di dalam surat ini.”, kata Dylan sambil memberikan surat dari Rena kepadaku.
25 Agustus 2006
Untuk Dylan

Dylan sahabatku, maafkan aku telah menodai persahabatan kita. Aku suka sama kamu. Tapi aku tahu kamu sangat amat lebih berharga bagi Reva dari pada aku. Oleh karena itu kasihi Reva sebagaimana kamu mengasihi aku.
Salam Terakhir
Rena
Aku langsung kaget. Aku tak berharap bisa ada hubungan lebih sama Dylan, walaupun aku sendiri mencintai Dylan. Aku sudah ada tekad bulat untuk mengatakan...
“ Kita memang sahabat Dylan. “, kataku.
Tiba-tiba Dokter datang dan spontan kami langsung menanyakan tentang kedaan Rena.
” Gimana keadaan Rena Dok?”, tanya Dylan.
” Iya Dok... Gimana keadaan anak saya?”, kata Mama.
” Sebelumnya maaf. Tapi Rena sudah tidak bisa di selamatkan mengingat ini adalah stadium akhir jadi... Sekali lagi maaf.”, kata Dokter itu.
” Ren, kenapa kamu tinggalin aku cepet banget?”, kataku sambil bicara pada diri sendiri.
” Kenapa kamu tinggalin Mama Ren...”, kata Mama.
” Tunggu... Kita masih punya satu Rena. Yaitu kamu Reva!”, kata Dylan tiba-tiba.
Lalu Mama memelukku. Hangat sekali pelukkannya. Mama memelukku seperti Mama memeluk Rena. Dylan menggandeng tanganku seperti Dylan menggandeng tanggan Rena.
Terima kasih Ren. Terima kasih atas ini semua. Alangkah bahagianya aku jika kamu ada di sini sekarang.

~ Tamat ~

Komentar