My Repression

Saya banyak menekan hal akhir-akhir ini.

Tekanan yang saya rasakan... ingin saya buang jauh-jauh dan lupakan. Because to be honest, it just too much for me to handle.

I feel tired.
I feel exhausted.

Saya sadar, ini bukan pertama kalinya saya kebangun dengan perasaan sedih dan berantakan. Saya sadar, ini bukan pertama kalinya hal yang berusaha saya timbun dan lupakan berhasil menembus pertahanan alam bawah sadar saya hingga akhirnya muncul dalam bentuk mimpi.

Malam ini, saya bermimpi mengundang teman-teman saya ke rumah. Spesifiknya, teman-teman SMA, karena mereka hobi banget ke rumah pada masa itu.

Saya bersihin rumah, saya siapin makanan, saya mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan mereka.

Mereka datang. Iya, mayoritas laki-laki. Karena memang para lelaki itulah yang hobi main ke rumah.

Setelahnya, saya menunjukkan dua karya saya kepada mereka (sepertinya dalam mimpi saya, saya mengundang mereka dalam rangka launching atau apresiasi karya ini). Dua buah video. Saya tidak tahu apakah itu film pendek, musikalisasi puisi yang dikemas dalam bentuk lain, ataupun kreasi video seperti yang biasa saya lakukan.

Kalian tahu apa yang terjadi?

Mereka mentertawakan karya saya. Keras. Dan setiap detik yang berlalu itu, mencabik setiap jengkal perasaan saya.

Bukan, video saya bukan video lucu. Mereka bahkan belum mulai menontonnya. Itu yang membuat saya semakin sakit.

Saya tidak ingat bagaimana akhir cerita dari mimpi saya karena setelahnya, hape saya bergetar dan saya terbangun. Dengan perasaan hancur. Saya menangis.



***



Hal-hal yang saya tekan dalam-dalam, berusaha lupakan, dan mungkin sedikit banyak berhasil masuk ke alam tidak sadar:

1. Share karya.

Saya engga tau ada berapa banyak manusia yang notice kalau saya hampir tidak pernah upload foto atau video selain dari kewajiban pasang twibbon, pada satu tahun belakangan ini.

Iya, I messed up everything these days. Saya benar-benar overthink sebelum bisa meng-upload konten. Saya perfeksionis tulen. Saya suka 'gatal' kalo ngeliat ketidaksesuaian. Maka untuk mencegahnya, saya benar-benar berupaya di awal supaya tidak membuat kesalahan.

Selain itu, tugas saya bikin konten untuk instagram kerja keluarga saya juga berat. Pakai prinsip yang sama. Apalagi yang ini taruhannya image perusahaan dan ribuan followers yang merupakan calon klien potensial.

Thats why saya engga punya waktu buat urus instagram saya sendiri.


2. Ditertawakan & dikomentari orang lain

Saya tau, mungkin bagi kalian, hal ini biasa saja buat kalian. Tapi buat saya? Hal ini bikin saya engga sehat mental.

Saya non aktifkan komentar di IG story saya, supaya saya lebih bebas hidup tanpa omongan orang lain yang kebanyakan ngarahin hidup saya dan bikin hidup saya kayak puppet pribadi mereka.

Saya ada di titik di mana saya capek jadi perfect buat orang lain. Buat si A, B, C. Tapi saya engga jadi versi terbaik dari diri saya sendiri, untuk diri saya sendiri.

Saya hilang arah. Saya engga tau lagi diri saya siapa.

Surprisingly, engga banyak yang tau kalo IYA, kata-kata mereka bisa sedemikian membunuh impian orang lain.

Saya sampai harus ikut sesi konseling kelompok sama psikolog karena dua masalah yang saling berhubungan ini. Karena kedua hal itu bikin saya benci dan engga cinta sama diri saya sendiri.

Kalian bisa bayangkan hidup tanpa mencintai jiwa dan raga yang kalian sedang tempati detik ini?


3. Mengundang, menyambut, mempersilakan tamu datang ke rumah

Saya baru sadar belakangan bahwa hal ini juga merupakan salah satu hal yang saya sedang hindari sejak entah kapan. Saya sendiri bahkan tidak ingat.

Sepertinya saya benar-benar terlampau berusaha menjaga teritori saya sendiri agar tidak dimasuki dan diobrak-abrik pihak lain. Termasuk salah satunya, rumah.

Saya hampir selalu menolak diajak pergi mendadak, tanpa direncanakan sebelumnya sejak jauh hari, ataupun kedatangan tamu mendadak, tanpa bilang dari jauh hari.

Iya, anxiety ini merepotkan, bukan?

Saya takut dengan segala bentuk interaksi sosial yang belum saya persiapkan secara mental sejak awal.



Maaf kalau sharing mengenai bentuk dan hal yang saya tekan dalam-dalam untuk saya lupakan (represi) ini justru membingungkan bagi pembaca non psikologi.

Saya menulis ini, murni untuk diri saya sendiri sebagai bentuk mengeluarkan hal-hal yang terlampau saya tekan dalam-dalam tersebut agar tidak kembali muncul dalam bentuk mimpi atau kepikiran mendadak (sehingga membuat mood baik saya mendadak jungkir balik, karena bentuk ini yang lebih sering muncul daripada bentuk keceplosan) karena sudah saya akui keberadaannya secara sadar, di alam sadar.



Yazida.
1 November 2018.
03.06 WIB.

Komentar